Padahal masih baaaaanyak hal-hal yang bisa ditulis selain ini. Tapi saya sedang tak ingin menulis yang lain. Jadi, hmm… apa kabar? Lebaran memang sudah berlalu dan tahun ini adalah kali kedua saya berlebaran sendiri tanpa keluarga. Kali pertama 2009 lalu saat saya tengah sibuk menyusun skripsi, dan mengingat tenggat waktu saat itu, rasanya mustahil untuk pulang. Sekarang? Sekarang mmm… Tidak ada alasan sama sekali sesungguhnya. Hanya saja memang tak ada kesempatan untuk dapat berkumpul bersama keluarga karena saya sudah di Bandung. Itu saja. Tak ada yang aneh bukan? Tapi, well yeah… Bagi Indonesia berlebaran sendiri tetap saja anomali (-_-“!)
Nah, karena tidak mengikuti yang “banyak”, maka sudah barang tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang harus saya tanggung sendiri. Dan saya paham betul itu, sebab pernah mengalami. Maka sehari atau dua hari menjelang lebaran, biasanya saya akan berbelanja makanan dan minuman di supermarket, membeli voucher-voucher pulsa (termasuk pulsa internet), dan menyewa sebanyak mungkin buku dan film sebagai persiapan di dalam “bunker” (oh, menyenangkan sekali menyebutnya “bunker”!) dan jreeeeeng… Jika semua itu telah terpenuhi, saya siap “melewati” lebaran dengan tenang seakan-akan ia memang sebuah batu sandungan (:p)
Tapi lebaran tahun ini memang berbeda dan tidak sesederhana kelihatannya karena saya (tengah) miskin. Salah dua yang cukup menghibur saya adalah akses internet yang lancar jaya suprana dan stock DVD siap tonton sebanyak 18 keping yang membuat saya merasa harus menggeser kata “miskin” menjadi “nggak miskin-miskin amat”. Tapi celakanya di hari-hari menjelang lebaran itu dalam saku jeans saya memang hanya tersisa selembar uang merah. Bukan, bukan merah benderang yang saya maksud, tetapi merah yang lebih sayu alias erpe sepuluh ribu yang kemudian segera menyusut menjadi seribu. tiga ratus. rupiah. dan menyusut lagi menjadi tiga ratus. rupiah. D%mn (//\\"!)
Alhasil dalam beberapa hari itu saya harus bertahan dengan roti sandwich yang diisi belahan wafer Tanggo dan meminum air yang dimasak lewat rice cooker (Ow my goat, that was fun!) Ditambah lagi di tengah masa-masa paceklik itu, tidak diketahui dari mana datangnya, tiba-tiba saya sudah “harus” berteman dengan seekor tikus kecil berwarna hitam sebesar jari telunjuk yang kemudian saya beri nama Picky Picky. Yeah, sama halnya seperti saya, Picky Picky juga tengah kelaparan jadi saya tidak sampai hati untuk mengusirnya karena ingat salah satu sticker yang sering nempel di pintu angkot: “sama-sama cari makan”.
Nah, di hari yang fitri itu, karena ceritanya saya ingin sekali makan ketupat dan opor ayam, akhirnya saya “mengencani” teman sekaligus tetangga saya, Oti. Pagi-pagi sekali saya sudah mandi, berbaju rapi, dan pergi menunaikan sholat Ied bersamanya. Pulangnya, seperti perkiraan saya, saya diajak serta ke rumahnya lalu disediakan ketupat dan opor ayam oleh ibunya, plus brownies, plus sebutir apel merah yang sudah saya idam-idamkan sejak beberapa hari yang lalu. Setelah itu saya ikut Oti dan ibunya bersilaturahmi keliling gang. Demi Tuhan, hari itu saya benar-benar bahagia (hanya) karena bisa makan enak. Dan keesokan harinya, seolah paham dengan “penderitaan” saya, Oti pun datang lagi ke kamar saya dengan membawa semangkuk zupa-zupa, chicken soup, dan rujak serut bengkuang yang segar sekali. Ah, terimakasih Oti. Kamu tidak tahu betapa besar nilai itu semua di mata Tuhan (^.^)
H+3 dari lebaran saya pun keluar “kandang” dan alangkah kagetnya (saya?) ketika mendapati jalanan Bandung begitu rapat dengan mobil-mobil berplat B hingga perjalanan Dago-Setiabudhi yang biasanya dapat ditempuh selama belasan menit, kini menjadi dua jam bahkan dua setengah jam lebih. Mobil-mobil itu keluar masuk dari satu FO ke FO lainnya. Entah apa (lagi) yang mereka cari seakan-akan session belanja Ramadhan untuk berburu baju lebaran itu tak juga cukup. Meski sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka, entah kenapa malam itu, di tengah kemacetan kota Bandung hati saya merasa sedih dan bertanya, “Kapan hari-hari akan kembali normal, Tuhan?”
Sebenarnya saya sudah cukup sering mengalami masa-masa paceklik sejenis ini namun entah mengapa di usia-usia “perempatan” ini hal tersebut membuat saya lebih banyak berpikir. Barangkali memang ada yang benar-benar harus saya benahi dari sikap saya yang cenderung agak kasual terhadap keuangan. Mungkin memang sudah saatnya pula saya diinsyafkan realita. Bahwa pertanyaan, “Akankah besok saya dapat makan?” memang benar-benar harus dijawab secara real pula. Inilah, inilah yang dinamakan basic needs atau kebutuhan-kebutuhan dasar yang konyolnya baru mendapatkan perhatian saya secara serius belakangan ini saja. Dan dalam rangka memenuhi itu semua, mengapa Tuhan, saya masih saja KURANG termotivasi untuk menghasilkan banyak uang? Bahwa saya cenderung selalu merasa puas dengan kehidupan yang ada padahal jiwa dan raga saya semestinya masih dapat dikerahkan lagi untuk bekerja keras mencapai sesuatu yang jauh lebih baik dari itu. Dan ketika saya sudah cukup “berkomitmen” tentang ini, entah mengapa beberapa waktu kemudian koordinatnya tiba-tiba saja berubah, tergantikan oleh kualitas-kualitas hidup yang (lagi-lagi) saya pikir jauh lebih penting dari (hanya sekedar) uang.
“I do agree that money can't buy happiness, But somehow, it's more comfortable to sit & cry in a BMW than on a bicycle.”
Tetapi Tuhan menyukai keseimbangan. Ada yang berlimpah bagi jiwa namun ternyata kurang adil bagi raga dan di sana saya akan tetap berdosa karena tidak memenuhi hak tubuh dan mendzalimi diri sendiri. Kondisi ini seharusnya dapat membuat saya lebih arif lagi untuk memilih, memilah, dan juga menyimpan. Mungkin saya harus mulai membiasakan menimbang, apakah Rp.50.000 itu akan saya habiskan di KFC atau di Alfamart dengan membeli sejumlah sembako bergizi yang tahan untuk beberapa hari. Yeah, konversi nilai uang terhadap segala sesuatu memang relatif, tetapi jika relativitas itu begitu leluasa, semestinya kita juga dapat memilih untuk berada di titik yang mana. Hatur nuhun Gusti, lapar kali ini lapar yang… mengajarkan.
"Ketika badanmu diberi makan, ruhmu mengharap bagian
Ketika telingamu menyimak cerita, ruhmu minta dongengan pula
Ketika hidungmu mencium harum, ruhmu pun meminta parfum
Ketika badanmu kenyang, ruhmu merasa kelaparan
Ketika badan sabar berpuasa, ruhmu menikmati kelezatan
Ketika syahwat badan dipuaskan, ruhmu merasa diabaikan
Badan adalah raga bagi ruh, sebuah ruang yang bakal rapuh
Badan adalah rumah singgah, yang bakal busuk dalam tanah
Ketika badan membusuk, kemana ruh diterbangkan?"
Bandung, 10 September 2011
(4.07 am)