Sepulangnya dari pemakaman, gw dan Mingke bergegas mandi. Pakaian yang seharian dipakai tadi langsung masuk mesin cuci. Entahlah, mungkin terdengar aneh. Seolah dengan cara itu kami dapat membasuh segala kesedihan dan kedukaan. Andai menurutkan ego, sesungguhnya pemakaman adalah upacara yang paling gw hindari sejak kecil. Sejak gw menyadari bahwa gw menyerap energi negatif seperti spons menyerap air. Maka malam itu gw dan Mingke sepakat untuk keluar rumah. Mencari beberapa kesenangan yang sifatnya duniawi. Hal-hal yang secara ironis berkebalikan 180° dari apa yang kami alami seharian tadi, dan biasanya ini berhasil. Tapi tidak. Hiruk-pikuk kafe, live music di malam hari, dan beberapa film bagus tidak serta-merta mendistraksi kami dari suasana dan pikiran-pikiran yang terperangkap kematian. Ini benar-benar seperti belasan tahun yang lalu ketika gw dilanda perasaan yang sama, suasana emosional yang sama tentang kematian[namun tidak cukup berarti untuk dituliskan di sini].
Lain pula halnya dengan peristiwa yang gw alami beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang cukup singkat namun sangat berharga. Saat itu gw berada dalam perjalanan pulang dari PLA di Ujung Berung menuju Setiabudhi. Sesampainya di Cicaheum, angkutan yang gw tumpangi berjalan melambat ketika di kiri jalan tampak sekerumunan orang sedang mengelililingi bagian depan sebuah angkot yang tengah berhenti. Beberapa detik kemudian, tampaklah oleh gw apa yang menjadi pusat kerumunan itu. Sesosok penumpang wanita paruh baya yang duduk di muka sedang “tertidur” pulas dengan mulut ternganga. Rupa-rupanya wanita tersebut meninggal dunia dalam perjalanan. Ironisnya, konon sang supir sendiri pun tak menyadari hal tersebut karena mengira bahwa wanita itu hanya tertidur sampai akhirnya ia benar-benar “kehabisan” trayek. Lalu sang supir pun mencoba membangunkannya yang tentu saja, tak akan pernah berhasil.
Berkaca dari kejadian itu, gw berpikir, betapa tenang dan sunyinya Tuhan mengambil nyawa manusia. Kemudian terbitlah sejumlah pertanyaan: Bagaimana rasanya dicabut nyawa saat terlelap? Inikah maksud dari doa pengantar tidur yang biasa kita lafadzkan, bahwasanya Tuhan tak pandang waktu dan tempat jika Ia berkehendak? Lantas, akan pergi kemana (atau pulang darimana) ibu itu sebenarnya? Siapa yang sedang menunggunya di rumah? Bagaimana perasaan keluarganya saat mengetahui bahwa orang yang mereka kasihi telah tiada? Kalimat apa yang terakhir diucapkannya saat ia meninggalkan rumah? Adakah mereka berakhir dengan cekcok dan pertengkaran atau dengan kalimat-kalimat kasih sayang?
Lain lagi halnya dengan cerita nyokap gw beberapa hari yang lalu saat anak bungsu rekan kerjanya dikabarkan meninggal dunia tiba-tiba karena mati lemas di kolam renang. Sore itu, konon mereka sekeluarga pergi berenang bersama-sama karena sang ayah yang hanya pulang sepekan sekali sedang datang berkunjung. Seperti kolam renang pada umumnya, kolam renang yang mereka kunjungi pun terbagi atas kolam renang dewasa dan kolam renang khusus anak-anak. Saat itu, Ari, begitu nama anak berumur 5 tahun itu, ikut berenang bersama kedua orangtuanya di kolam renang dewasa dengan pengawasan yang ketat. Di kolam renang dewasa itu, Ari senang sekali meloncat dan bercebur ke kolam yang dalam dengan berbagai macam atraksi yang langsung disambut oleh ayahnya dari bawah. Setelah bosan bermain-main di kolam besar, Ari pun mengajak ayahnya untuk berenang di kolam kecil. Maka beranjaklah ayah-beranak itu ke kolam kecil sementara ibunya tetap berada di kolam besar. Dalam perjalanan ke kolam kecil, tiba-tiba tanpa sepengetahuan ayahnya Ari kembali lagi ke kolam besar, meloncat, dan menyeburkan dirinya di sana seperti yang sediakala baru saja ia lakukan bersama ayahnya, sementara sang ibu tak menyadari kehadiran anaknya sama sekali padahal jarak di antara mereka berdua begitu dekat. Hingga 5 menit kemudian sang ibu tersadarkan oleh keberadaan “daging” di dalam air yang tidak bergerak lagi. Saat ditengok, alangkah terkejutnya ia kala mengenali bahwa celana yang dikenakan “korban” adalah celana anaknya sendiri. Segala pertolongan darurat pun segera dilakukan. Namun terlambat, nyawa Ari tak dapat tertolong lagi.
Takdir ini berlalu begitu cepat dan tak disangka-sangka. Ari yang kecil dan malang berpikir bahwa setiap kolam sama saja. Ari belum mengerti bahwa meloncat tiba-tiba ke kolam besar dengan penjagaan ayah di bawah adalah “berbeda” dengan ketiadaan ayah sama sekali. Andai waktu bisa diputar ulang beberapa detik saja untuk memberi pengertian kepada anak itu. Andai sejak awal sang ayah lebih memilih kolam kecil dengan alasan keamanan. Andai dalam beberapa detik itu sang ayah segera menyadari bahwa anaknya berbalik lagi. Ah, andai ia tuntun saja anak kecil itu. Andai… Keesokan harinya saat melayat, ibu guru Ari bercerita bahwa sebelum pulang sekolah kemarin ia mendapati Ari membawa mainan yang tidak diperbolehkan untuk dibawa ke sekolah. Kemudian ia berkata, “Ari, besok mainannya jangan dibawa lagi ya!” dan Ari pun menjawab, “Iya Bu guru, nggak akan pernah dibawa lagi". Dan sesungguhnya Ari benar-benar tidak berbohong.
Beberapa minggu terakhir ini di Martapura konon telah terjadi hal yang mencengangkan pula berkenaan dengan kematian, walaupun gw belum membuktikannya secara langsung. Cerita ini persis seperti cerita-cerita yang dulu marak di majalah-majalah dan sinetron Islami. Terlepas dari benar dan tidaknya, cerita ini memang ramai diperbincangkan orang. 6 tahun yang lalu, konon di Martapura terdapat seorang remaja laki-laki berusia belasan tahun yang meninggal dunia karena sakit. Jasadnya pun dirawat dan dikebumikan secara wajar seperti umat Muslim yang lain. 6 tahun kemudian, tiba-tiba muncul sebuah mimpi dalam tidur ibunya yang meminta sang ibu untuk segera menjemput sang anak di dalam kubur karena sang anak mengaku masih hidup. Berulangkali mimpi itu mengganggu sang ibu hingga kemudian sang ibu memutuskan untuk melakukan persis seperti yang diminta oleh anaknya. Bersama beberapa orang yang dituakan secara agama, akhirnya sang ibu pun pergi ke kuburan untuk “menjemput” sang anak. Dan ketika kuburan itu dibongkar, benar saja, anak itu masih hidup dengan kondisi jasad yang sangat baik (hanya saja rambut dan kukunya telah tumbuh sangat panjang). Anak itu pun dikeluarkan dari kain kafan yang mengikat, dibersihkan, lalu dibopong ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mengurung diri di kamar dan tak mau berbicara kepada siapapun selain ibunya. Belum jelas apa yang sesungguhnya terjadi pada anak itu. Namun jika benar ia dihidupkan kembali karena belum sampai janjinya untuk mati, sungguhlah itu benar-benar kuasa Tuhan semata.
Sebagai manusia yang masih melihat dengan lemak, mendengar dengan tulang, berkata dengan urat, dan bernafas dengan lubang, sungguh pengetahuan gw tentang kematian masih benar-benar fakir. Yang gw tau kematian pasti terjadi dan karena gw (mengaku) beriman, maka gw menginsyafi bahwa “kehidupan” tidak akan serta-merta berhenti hanya karena gw meninggalkan dunia ini. Masih ada nasib-nasib lain yang harus gw pikirkan di kehidupan lain yang sayangnya tidak melepaskan diri dari kehidupan yang gw jalani kini. Nasib itu adalah nasib jiwa. Sehingga gw boleh bertanya dalam hati, “Bagaimana nasib jiwamu nanti?” Rupa-rupanya benar kata Sapardi, bahwa yang fana adalah waktu, kita "abadi". Kita memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
Dan mengingat kepastian yang pasti itu, dengan penghasilan yang kita miliki saat ini, semestinya kita mampu menyisihkannya sedikit hanya untuk membeli sehelai tapih dan kain kafan lalu menyimpannya di dalam lemari seperti baju-baju yang lain. Semestinya kita mampu membeli sepetak tanah berukuran 1 x 2 m seperti halnya kita mampu untuk membeli petak-petak tanah lain yang jauh lebih luas. Semestinya kita tidak segan dengan gelar "Alm." sebagaimana kita tidak segan saat mempersiapkan gelar-gelar yang lain. Bukankah Muhammad mengajarkan keseimbangan? Bahwasanya kita dituntut untuk bersungguh-sungguh bekerja di dunia seakan-akan kita hidup selamanya, namun juga dituntut bersungguh-sungguh beribadah untuk akhirat seakan-akan kita mati esok pagi. Gw jadi teringat kearifan Socrates saat menghadapi kematian. Kala itu Socrates berkata, “Saya tidak tahu apa sebenarnya maut itu. Mungkin itu sesuatu yang baik dan saya tidak takut padanya, tetapi saya tahu bahwa meninggalkan kewajiban adalah suatu hal yang buruk dan saya memilih sesuatu yang mungkin baik daripada apa yang saya tahu buruk. Takut menghadapi maut bukanlah sebuah kebijaksanaan. Tiada yang tahu apakah maut itu membawa kebahagiaan yang lebih tinggi atau tidak.”
***
Sore itu, di tengah pemakaman sepupu gw yang mengabu-hitam itu, sejenak gw menatap ke langit. Aneka warna melengkung di sana. Sebuah pelangi. Pelangi petang…
"Life is very short, my friends. But it's long enough if you live with all your heart.
So go on break the rules. Forgive quickly. Love Truly.
Never regret anything that made you smile."
(11.55 pm) --