Rabu, 07 Maret 2012

Windchimes \M/
































Tahun-tahun yang muram. Beberapa mencinta seperti batu, sementara yang lain khusyuk menghinggapi satu dahan ke dahan lain. Beberapa mencinta seperti kura-kura yang membawa tempurungnya sepanjang waktu, sementara yang lain cukup puas dengan kata-kata. Beberapa lagi membenci, karena seseorang yang mencinta. Beberapa gemar berjudi, sementara yang lain harus menang di garis tepi. Benarlah, ini dunia. Dunia tidak jahat, tidak pula bersahabat;

ia hanya masa bodoh!
---
(07. 27 pm)


Sabtu, 25 Februari 2012

Sambungan....

Sepulangnya dari pemakaman, gw dan Mingke bergegas mandi. Pakaian yang seharian dipakai tadi langsung masuk mesin cuci. Entahlah, mungkin terdengar aneh. Seolah dengan cara itu kami dapat membasuh segala kesedihan dan kedukaan. Andai menurutkan ego, sesungguhnya pemakaman adalah upacara yang paling gw hindari sejak kecil. Sejak gw menyadari bahwa gw menyerap energi negatif seperti spons menyerap air. Maka malam itu gw dan Mingke sepakat untuk keluar rumah. Mencari beberapa kesenangan yang sifatnya duniawi. Hal-hal yang secara ironis berkebalikan 180° dari apa yang kami alami seharian tadi, dan biasanya ini berhasil. Tapi tidak. Hiruk-pikuk kafe, live music  di malam hari, dan beberapa film bagus tidak serta-merta mendistraksi kami dari suasana dan pikiran-pikiran yang terperangkap kematian. Ini benar-benar seperti belasan tahun yang lalu ketika gw dilanda perasaan yang sama, suasana emosional yang sama tentang kematian[namun tidak cukup berarti untuk dituliskan di sini].

Lain pula halnya dengan peristiwa yang gw alami beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang cukup singkat namun sangat berharga. Saat itu gw berada dalam perjalanan pulang dari PLA di Ujung Berung menuju Setiabudhi. Sesampainya di Cicaheum, angkutan yang gw tumpangi berjalan melambat ketika di kiri jalan tampak sekerumunan orang sedang mengelililingi bagian depan sebuah angkot yang tengah berhenti. Beberapa detik kemudian, tampaklah oleh gw apa yang menjadi pusat kerumunan itu. Sesosok penumpang wanita paruh baya yang duduk di muka sedang “tertidur” pulas dengan mulut ternganga. Rupa-rupanya wanita tersebut meninggal dunia dalam perjalanan. Ironisnya, konon sang supir sendiri pun tak menyadari hal tersebut karena mengira bahwa wanita itu hanya tertidur sampai akhirnya ia benar-benar “kehabisan” trayek. Lalu sang supir pun mencoba membangunkannya yang tentu saja, tak akan pernah berhasil.

Berkaca dari kejadian itu, gw berpikir, betapa tenang dan sunyinya Tuhan mengambil nyawa manusia. Kemudian terbitlah sejumlah pertanyaan: Bagaimana rasanya dicabut nyawa saat terlelap? Inikah maksud dari doa pengantar tidur yang biasa kita lafadzkan, bahwasanya Tuhan tak pandang waktu dan tempat jika Ia berkehendak? Lantas, akan pergi kemana (atau pulang darimana) ibu itu sebenarnya? Siapa yang sedang menunggunya di rumah? Bagaimana perasaan keluarganya saat mengetahui bahwa orang yang mereka kasihi telah tiada? Kalimat apa yang terakhir diucapkannya saat ia meninggalkan rumah? Adakah mereka berakhir dengan cekcok dan pertengkaran atau dengan kalimat-kalimat kasih sayang?

Lain lagi halnya dengan cerita nyokap gw beberapa hari yang lalu saat anak bungsu rekan kerjanya dikabarkan meninggal dunia tiba-tiba karena mati lemas di kolam renang. Sore itu, konon mereka sekeluarga pergi berenang bersama-sama karena sang ayah yang hanya pulang sepekan sekali sedang datang berkunjung. Seperti kolam renang pada umumnya, kolam renang yang mereka kunjungi pun terbagi atas kolam renang dewasa dan kolam renang khusus anak-anak. Saat itu, Ari, begitu nama anak berumur 5 tahun itu, ikut berenang bersama kedua orangtuanya di kolam renang dewasa dengan pengawasan yang ketat. Di kolam renang dewasa itu, Ari senang sekali meloncat dan bercebur ke kolam yang dalam dengan berbagai macam atraksi yang langsung disambut oleh ayahnya dari bawah. Setelah bosan bermain-main di kolam besar, Ari pun mengajak ayahnya untuk berenang di kolam kecil. Maka beranjaklah ayah-beranak itu ke kolam kecil sementara ibunya tetap berada di kolam besar. Dalam perjalanan ke kolam kecil, tiba-tiba tanpa sepengetahuan ayahnya Ari kembali lagi ke kolam besar, meloncat, dan menyeburkan dirinya di sana seperti yang sediakala baru saja ia lakukan bersama ayahnya, sementara sang ibu tak menyadari kehadiran anaknya sama sekali padahal jarak di antara mereka berdua begitu dekat. Hingga 5 menit kemudian sang ibu tersadarkan oleh keberadaan “daging” di dalam air yang tidak bergerak lagi. Saat ditengok, alangkah terkejutnya ia kala mengenali bahwa celana yang dikenakan “korban” adalah celana anaknya sendiri. Segala pertolongan darurat pun segera dilakukan. Namun terlambat, nyawa Ari tak dapat tertolong lagi.

Takdir ini berlalu begitu cepat dan tak disangka-sangka. Ari yang kecil dan malang berpikir bahwa setiap kolam sama saja. Ari belum mengerti bahwa meloncat tiba-tiba ke kolam besar dengan penjagaan ayah di bawah adalah “berbeda” dengan ketiadaan ayah sama sekali. Andai waktu bisa diputar ulang beberapa detik saja untuk memberi pengertian kepada anak itu. Andai sejak awal sang ayah lebih memilih kolam kecil dengan alasan keamanan. Andai dalam beberapa detik itu sang ayah segera menyadari bahwa anaknya berbalik lagi. Ah, andai ia tuntun saja anak kecil itu. Andai… Keesokan harinya saat melayat, ibu guru Ari bercerita bahwa sebelum pulang sekolah kemarin ia mendapati Ari membawa mainan yang tidak diperbolehkan untuk dibawa ke sekolah. Kemudian ia berkata, “Ari, besok mainannya jangan dibawa lagi ya!” dan Ari pun menjawab, “Iya Bu guru, nggak akan pernah dibawa lagi". Dan sesungguhnya Ari benar-benar tidak berbohong.

Beberapa minggu terakhir ini di Martapura konon telah terjadi hal yang mencengangkan pula berkenaan dengan kematian, walaupun gw belum membuktikannya secara langsung. Cerita ini persis seperti cerita-cerita yang dulu marak di majalah-majalah dan sinetron Islami. Terlepas dari benar dan tidaknya, cerita ini memang ramai diperbincangkan orang. 6 tahun yang lalu, konon di Martapura terdapat seorang remaja laki-laki berusia belasan tahun yang meninggal dunia karena sakit. Jasadnya pun dirawat dan dikebumikan secara wajar seperti umat Muslim yang lain. 6 tahun kemudian, tiba-tiba muncul sebuah mimpi dalam tidur ibunya yang meminta sang ibu untuk segera menjemput sang anak di dalam kubur karena sang anak mengaku masih hidup. Berulangkali mimpi itu mengganggu sang ibu hingga kemudian sang ibu memutuskan untuk melakukan persis seperti yang diminta oleh anaknya. Bersama beberapa orang yang dituakan secara agama, akhirnya sang ibu pun pergi ke kuburan untuk “menjemput” sang anak. Dan ketika kuburan itu dibongkar, benar saja, anak itu masih hidup dengan kondisi jasad yang sangat baik (hanya saja rambut dan kukunya telah tumbuh sangat panjang). Anak itu pun dikeluarkan dari kain kafan yang mengikat, dibersihkan, lalu dibopong ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mengurung diri di kamar dan tak mau berbicara kepada siapapun selain ibunya. Belum jelas apa yang sesungguhnya terjadi pada anak itu. Namun jika benar ia dihidupkan kembali karena belum sampai janjinya untuk mati, sungguhlah itu benar-benar kuasa Tuhan semata.

Sebagai manusia yang masih melihat dengan lemak, mendengar dengan tulang, berkata dengan urat, dan bernafas dengan lubang, sungguh pengetahuan gw tentang kematian masih benar-benar fakir. Yang gw tau kematian pasti terjadi dan karena gw (mengaku) beriman, maka gw menginsyafi bahwa “kehidupan” tidak akan serta-merta berhenti hanya karena gw meninggalkan dunia ini. Masih ada nasib-nasib lain yang harus gw pikirkan di kehidupan lain yang sayangnya tidak melepaskan diri dari kehidupan yang gw jalani kini. Nasib itu adalah nasib jiwa. Sehingga gw boleh bertanya dalam hati, “Bagaimana nasib jiwamu nanti?” Rupa-rupanya benar kata Sapardi, bahwa yang fana adalah waktu, kita "abadi". Kita memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.

Dan mengingat kepastian yang pasti itu, dengan penghasilan yang kita miliki saat ini, semestinya kita mampu menyisihkannya sedikit hanya untuk membeli sehelai tapih dan kain kafan lalu menyimpannya di dalam lemari seperti baju-baju yang lain. Semestinya kita mampu membeli sepetak tanah berukuran 1 x 2 m seperti halnya kita mampu untuk membeli petak-petak tanah lain yang jauh lebih luas. Semestinya kita tidak segan dengan gelar "Alm." sebagaimana kita tidak segan saat mempersiapkan gelar-gelar yang lain. Bukankah Muhammad mengajarkan keseimbangan? Bahwasanya kita dituntut untuk bersungguh-sungguh bekerja di dunia seakan-akan kita hidup selamanya, namun juga dituntut bersungguh-sungguh beribadah untuk akhirat seakan-akan kita mati esok pagi. Gw jadi teringat kearifan Socrates saat menghadapi kematian. Kala itu Socrates berkata, “Saya tidak tahu apa sebenarnya maut itu. Mungkin itu sesuatu yang baik dan saya tidak takut padanya, tetapi saya tahu bahwa meninggalkan kewajiban adalah suatu hal yang buruk dan saya memilih sesuatu yang mungkin baik daripada apa yang saya tahu buruk. Takut menghadapi maut bukanlah sebuah kebijaksanaan. Tiada yang tahu apakah maut itu membawa kebahagiaan yang lebih tinggi atau tidak.”

***

Sore itu, di tengah pemakaman sepupu gw yang mengabu-hitam itu, sejenak gw menatap ke langit. Aneka warna melengkung di sana. Sebuah pelangi. Pelangi petang




































"Life is very short, my friends. But it's long enough if you live with all your heart. 
So go on break the rules. Forgive quickly. Love Truly. 
Never regret anything that made you smile."
(11.55 pm) --

Pelangi Petang

Barangkali Pluto memang sedang “bermain-main” di small circle kehidupan gw sehingga gw harus menghadapi banyak sekali berita-berita kematian sejak awal tahun yang lalu. Beragam: mulai dari kenalan, orang kecelakaan di jalan, kawan, kawan dekat, tetangga jauh, hingga sepupu sendiri. Tapi mengingat sifat kematian yang begitu buani dan sejagad, lucu rasanya saat menyadari bahwa gw memilih kalimat-kalimat di atas (:p). Akan tetapi sejak dulu isu kematian memang menjadi wacana tersendiri bagi gw sejak pikiran sadar gw selalu menolaknya namun “tak sadar” menguntitnya. Kematian seperti ular yang mendesis kala disentuh namun mengasyikkan bila dinikmati dari balik jendela kaca. Kematian tak ubahnya “benda” di balik kabut yang menyedot rasa ingin tahu dan menghembuskan ribuan pertanyaan. Begitu misteriusnya kematian hingga ia terasa seperti ular yang melilit tongkat Asclepius dan menawarkan obat serta racun sekaligus.

Pagi itu, 18 Februari yang lalu, gw bangun dari tidur dalam keadaan terkejut. Dengan tergopoh-gopoh nyokap mengabarkan bahwa salah seorang sepupu gw (alias keponakannya) mendapat kecelakaan dan meninggal dunia dini hari tadi dalam perjalanan Rantau menuju Banjarbaru. Sontak gw bangun dari tempat tidur dan bersegera mandi karena tau bahwa hari itu akan menjadi hari yang “ramai”. Saat itu barulah gw mengerti mengapa pada tengah malamnya, tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas gw menyetrika baju terusan panjang putih yang belum pernah gw kenakan sebelumnya. Rupa-rupanya baju tersebut memang “diperuntukkan” untuk keperluan layatan di esok pagi mengingat selama ini gw nggak pernah punya baju yang cukup sopan untuk upacara-upacara semacam itu.

Menurut kabar, sepupu gw meninggal karena kecelakaan tunggal. Dini hari itu, seperti biasa ia dan ayahnya mengambil ikan dari Rantau untuk dijual ke Pangkalan Bun. Sementara ayahnya berangkat dengan mobil Pick-Up, sepupu gw bersepeda motor. Di tengah perjalanan, sang Ayah menyusulnya hingga tiba terlebih dahulu di Banjarbaru. Dalam perjalanan itu, sempat pula merebak isu tentang kecelakaan sebuah motor yang berlangsung di “belakang”. Sontak sang ayah pun merasa tak enak hati, hanya saja tidak terbersit sedikitpun di benaknya bahwa kecelakaan yang ramai diperbincangkan itu adalah kecelakaan yang menimpa anaknya sendiri. Kegelisahan itu terus berlanjut sampai pukul 6 pagi ketika sepupu gw tak juga tiba di Banjarbaru dan nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Hingga akhirnya sang ayah pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendirian ke Pangkalan Bun.

Pukul 7 pagi, keluarga dikejutkan oleh dering telepon dari kantor polisi yang mengabarkan berita duka. Segera saja kami beranjak ke Rumah Sakit untuk memastikan apakah benar korban yang dimaksud adalah salah seorang anggota keluarga kami. Dan benar saja, seketika keluarga batih menangis tersungkur tatkala mendapati bahwa jasad yang terbaring kaku berlumur darah dengan kepala masih mengenakan helm ber”klik” itu adalah sepupu gw. Tak terlalu lama membiarkan diri berlarut-larut dalam kesedihan, kami para keluarga yang lain bergegas bahu-membahu mengurus segala surat-menyurat dan keperluan jenazah di rumah. Rupa-rupanya pada dini hari itu, di jalan yang gelap dan sunyi itu, sepupu gw tergeletak di jalan meregang nyawanya sendirian. Ah, seandainya saja ada yang melihat dan bergegas membawanya ke Rumah Sakit, mungkin nyawanya masih dapat tertolong. Seandainya saja kecelakaan itu berlangsung siang hari. Seandainya saja ia bermobil bersama ayahnya. Seandainya ia tidak mengantuk. Seandainya. Namun sayang, “janji” kematian tak pernah berandai-andai sejak ruh manusia ditiupkan dalam kandungan.

Sesampainya jenazah di rumah, gw mendapati masyarakat sekitar telah selesai memasang tenda-tenda. Seketika rumah almarhum ramai oleh orang-orang yang sibuk mengurus segala sesuatunya. Papan tulis berukuran 1 x 1,5 m yang bertuliskan beberapa keterangan telah dipasang di depan rumah lengkap dengan bendera hijaunya. Pengumuman kepada khalayak telah dikumandangkan dari Mesjid ke Mesjid. Masyarakat begitu sigap. Di sana gw melihat bahwasanya eksistensi manusia sebagai insan sosial terus berlangsung dari lahir sampai mati. Dengan demikian, tak elok rasanya “bersombong” terhadap iuran kematian. Beberapa memang untuk orang lain, namun sekali waktu akan datang giliran kita dan orang-orang yang kita kasihi. Beruntung keyakinan yang gw anut adalah salah satu yang mengajarkan banyak kebajikan dalam bermasyarakat. Di antaranya adalah kesigapan terhadap hak jenazah. Di sisi lain, gw memikirkan keluarga yang ditinggalkan. Alangkah tegarnya mereka yang diuji dengan kematian. Bagaimana bisa perasaan tercerabut dan kehilangan yang tiba-tiba itu harus ditumpuk dengan kesibukan melayani tamu, memberi makan, dan menyediakan ini-itu?

Sore itu kami beriringan menuju pemakaman. Sesekali angin bertiup kencang menerpa tenda-tenda pekuburan, menyibakkan kerudung gw. Di kiri-kanan makam terdapat beberapa gundukan tanah merah yang menandakan penghuninya masih basah. Konon penyebabnya sama, kecelakaan. Tampak keluarga batih masih berhujan air mata. Beberapa dari mereka, utamanya kerabat laki-laki, mencangkul tanah dengan emosional. Mulaqqin mulai sibuk membaca Talqin. Kalimat-kalimatnya membuat gw tercenung. Memang benar, sejatinya kematian adalah cermin yang disediakan Tuhan bagi manusia untuk berkaca. Untuk menyadarkan diri sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Bahwa tiada yang lebih pasti selain dari kematian itu sendiri. Bahwa tiada yang lebih dekat dari kematian, sedekat urat leher kita sendiri. Celakanya, tak ada satu benteng pun di muka bumi ini yang sanggup menahan kita dari takdir kita sendiri ketika saat itu tiba. Kalimat-kalimat itu begitu indah didengar. Seperti pengantar “tidur” yang dinyanyikan oleh mereka yang masih hidup kepada yang baru saja mati. Seperti jembatan yang menghubungkan dua alam. Seperti kalimat-kalimat perpisahan yang tegar namun menjadi amaran dan iktibar bagi mereka yang mengantar. Serupa tuntunan dan petunjuk bagi ruh di “bawah sana” untuk menghadapi apa yang kelak akan terjadi:

“(…) Wahai … bin …, pada hari ini, mulai dari tanggal ini, kamu akan masuk ke negeri akhirat. Kamu akan tinggal di alam Barzah sampai pada suatu masa ketika kelak kamu dibangkitkan untuk berkumpul di Padang Mahsyar. Apabila datang kepadamu dua malaikat, janganlah gentar dan takut, jangan berduka cita dan risau, jangan pula bersusah hati dan terkejut. Ketahuilah bahwasanya mereka itu adalah juga hamba Alloh, sama sepertimu. Lalu apabila mereka menyuruhmu duduk dan menanyakanmu beberapa persoalan, maka jawablah kesemua itu dengan tenang, terang, tepat, cermat, betul, dan dengan segala keteguhan imanmu (…)”

“(…) Di akhirnya, kami ucapkan selamat berpisah dan selamat tinggal kamu di sisi Alloh. Semoga Tuhan berkenan memberi kesejahteraan kepadamu. Tuhan pula yang menetapkan hati kamu. Kami sekalian hanya bisa berdoa. Semoga Ia menjinakkan hati kamu yang liar dan menaruh belas kasihan kepadamu yang berdagang seorang diri di alam kubur ini. Mudah-mudahan Tuhan memberi ampunan, memaafkan kesalahan kamu, serta menerima segala amal kebajikanmu. Sesungguhnya setiap yang bernafas pasti mati.”

(Bersambung… )

Jumat, 03 Februari 2012

Flying Fish



















"Saya meninggalkan Bali. Menetap di kota yang paling saya hindari. Bekerja rutin di satu tempat yang sama setiap hari. Ternyata sampai hari ini saya masih waras. Saya rindu pantai. Tapi pantai tidak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat dimana saya dibutuhkan."
- Tansen Roy Wuisan

Minggu, 22 Januari 2012

Idiosunkrasia

A Thousand Years – Christina Perri
Alejandro – Lady Gaga
All Night Long – Lionel Richie ft. Guy Sebastian
Bagaikan Sakti – Siti Nurhaliza ft. M. Nasir
Creep – Karen Souza
Daydream – Christina Perri
Feel Love – Sean Garrett ft. J. Cole
  Gipsy Moves – Vanity
Happiness – Alexis Jordan
Heart Skips A Beat – Lenka
I Won’t Give Up – Jason Mraz
In The Morning – J. Cole ft. Drake
International Love – Pitbull ft. Chris Brown
Jai Ho – Pussycat Dolls
Je Me Lache – Christophe Mae
Just A Man – Akon
Keong Racun – The Extra Large
Let Me Blow Ya Mind – Eve ft. Gwen Stefani
Loca – Shakira ft. Dizzee Rascal
Love Letter – R. Kelly
Love On Top – Beyonce
Lovesong – Adele
Make You Feel My Love – Adele
Million Miles – Too Phat ft. Siti Nurhaliza
Not Fair – Lily Allen



























Nothin’ On You – B.O.B ft. Bruno Mars
On The Floor – Jennifer Lopez ft. Pitbull
Only Girl – Rihanna
Ours – Taylor Swift
Pasti Bisa – Citra Skolastika
Reviens Mon Amour – Marc Lavoine
Safe & Sound – Taylor Swift ft. The Civil Wars
Said I Love You But I Lied – Michael Bolton ft. Agnes Monica
Space Bound – Eminem
Stereo Love – Edward Maya & Vika Jigulina
Take Care – Drake ft. Rihanna
The Lonely – Christina Perri
The Trouble With Girls – Scotty McCreery
Tired – Adele
Tough Lover – Christina Aguilera
We are Young – Fun ft. Janelle Monae
We Found Love – Rihanna ft. Calvin Harris
We No Speak Americano – Yolanda Be Cool & Dcup
What You Waiting For? – Gwen Stefani
Where Is The Love? – Black Eyed Peas ft. Justin Timberlake
You Belong With Me – Taylor Swift
You Da One - Rihanna
You Lost Me – Christina Aguilera

~~
(12.17 pm)

Senin, 26 Desember 2011

Ship's Anchor

"Aku belajar dari pengalaman yang berat untuk menyadari bahwa aku tidak dapat selalu mengharapkan orang lain untuk menghargai perasaanku, pun jika seandainya aku menghargai perasaan mereka. Menjadi orang baik tidak menjamin bahwa orang lain juga akan menjadi baik. Aku hanya bisa mengontrol diri dan menentukan keinginanku sendiri. Terhadap orang lain, aku hanya dapat memilih: menerima atau meninggalkan mereka."(Colin Mortensen)




deepest purple, black, midnight blue. (3.07 am)
~~~

Jumat, 23 Desember 2011

03.27 am

Bad dreams.
Kebangun.
Nyalain laptop.
Terus bikin teh.
Terus tehnya kedupak.
Terus tumpah.
Terus kepencet sesuatu.
Terus Kaget.
Terus malah dipencet lagi karena kaget.
Oh, stupid.
Stupid, me!
(-.-)
Why do I have very active unconscious lives?[]