Barangkali Pluto memang sedang “bermain-main” di small circle kehidupan gw sehingga gw harus menghadapi banyak sekali berita-berita kematian sejak awal tahun yang lalu. Beragam: mulai dari kenalan, orang kecelakaan di jalan, kawan, kawan dekat, tetangga jauh, hingga sepupu sendiri. Tapi mengingat sifat kematian yang begitu buani dan sejagad, lucu rasanya saat menyadari bahwa gw memilih kalimat-kalimat di atas (:p). Akan tetapi sejak dulu isu kematian memang menjadi wacana tersendiri bagi gw sejak pikiran sadar gw selalu menolaknya namun “tak sadar” menguntitnya. Kematian seperti ular yang mendesis kala disentuh namun mengasyikkan bila dinikmati dari balik jendela kaca. Kematian tak ubahnya “benda” di balik kabut yang menyedot rasa ingin tahu dan menghembuskan ribuan pertanyaan. Begitu misteriusnya kematian hingga ia terasa seperti ular yang melilit tongkat Asclepius dan menawarkan obat serta racun sekaligus.
Pagi itu, 18 Februari yang lalu, gw bangun dari tidur dalam keadaan terkejut. Dengan tergopoh-gopoh nyokap mengabarkan bahwa salah seorang sepupu gw (alias keponakannya) mendapat kecelakaan dan meninggal dunia dini hari tadi dalam perjalanan Rantau menuju Banjarbaru. Sontak gw bangun dari tempat tidur dan bersegera mandi karena tau bahwa hari itu akan menjadi hari yang “ramai”. Saat itu barulah gw mengerti mengapa pada tengah malamnya, tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas gw menyetrika baju terusan panjang putih yang belum pernah gw kenakan sebelumnya. Rupa-rupanya baju tersebut memang “diperuntukkan” untuk keperluan layatan di esok pagi mengingat selama ini gw nggak pernah punya baju yang cukup sopan untuk upacara-upacara semacam itu.
Menurut kabar, sepupu gw meninggal karena kecelakaan tunggal. Dini hari itu, seperti biasa ia dan ayahnya mengambil ikan dari Rantau untuk dijual ke Pangkalan Bun. Sementara ayahnya berangkat dengan mobil Pick-Up, sepupu gw bersepeda motor. Di tengah perjalanan, sang Ayah menyusulnya hingga tiba terlebih dahulu di Banjarbaru. Dalam perjalanan itu, sempat pula merebak isu tentang kecelakaan sebuah motor yang berlangsung di “belakang”. Sontak sang ayah pun merasa tak enak hati, hanya saja tidak terbersit sedikitpun di benaknya bahwa kecelakaan yang ramai diperbincangkan itu adalah kecelakaan yang menimpa anaknya sendiri. Kegelisahan itu terus berlanjut sampai pukul 6 pagi ketika sepupu gw tak juga tiba di Banjarbaru dan nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Hingga akhirnya sang ayah pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendirian ke Pangkalan Bun.
Pukul 7 pagi, keluarga dikejutkan oleh dering telepon dari kantor polisi yang mengabarkan berita duka. Segera saja kami beranjak ke Rumah Sakit untuk memastikan apakah benar korban yang dimaksud adalah salah seorang anggota keluarga kami. Dan benar saja, seketika keluarga batih menangis tersungkur tatkala mendapati bahwa jasad yang terbaring kaku berlumur darah dengan kepala masih mengenakan helm ber”klik” itu adalah sepupu gw. Tak terlalu lama membiarkan diri berlarut-larut dalam kesedihan, kami para keluarga yang lain bergegas bahu-membahu mengurus segala surat-menyurat dan keperluan jenazah di rumah. Rupa-rupanya pada dini hari itu, di jalan yang gelap dan sunyi itu, sepupu gw tergeletak di jalan meregang nyawanya sendirian. Ah, seandainya saja ada yang melihat dan bergegas membawanya ke Rumah Sakit, mungkin nyawanya masih dapat tertolong. Seandainya saja kecelakaan itu berlangsung siang hari. Seandainya saja ia bermobil bersama ayahnya. Seandainya ia tidak mengantuk. Seandainya. Namun sayang, “janji” kematian tak pernah berandai-andai sejak ruh manusia ditiupkan dalam kandungan.
Sesampainya jenazah di rumah, gw mendapati masyarakat sekitar telah selesai memasang tenda-tenda. Seketika rumah almarhum ramai oleh orang-orang yang sibuk mengurus segala sesuatunya. Papan tulis berukuran 1 x 1,5 m yang bertuliskan beberapa keterangan telah dipasang di depan rumah lengkap dengan bendera hijaunya. Pengumuman kepada khalayak telah dikumandangkan dari Mesjid ke Mesjid. Masyarakat begitu sigap. Di sana gw melihat bahwasanya eksistensi manusia sebagai insan sosial terus berlangsung dari lahir sampai mati. Dengan demikian, tak elok rasanya “bersombong” terhadap iuran kematian. Beberapa memang untuk orang lain, namun sekali waktu akan datang giliran kita dan orang-orang yang kita kasihi. Beruntung keyakinan yang gw anut adalah salah satu yang mengajarkan banyak kebajikan dalam bermasyarakat. Di antaranya adalah kesigapan terhadap hak jenazah. Di sisi lain, gw memikirkan keluarga yang ditinggalkan. Alangkah tegarnya mereka yang diuji dengan kematian. Bagaimana bisa perasaan tercerabut dan kehilangan yang tiba-tiba itu harus ditumpuk dengan kesibukan melayani tamu, memberi makan, dan menyediakan ini-itu?
Sore itu kami beriringan menuju pemakaman. Sesekali angin bertiup kencang menerpa tenda-tenda pekuburan, menyibakkan kerudung gw. Di kiri-kanan makam terdapat beberapa gundukan tanah merah yang menandakan penghuninya masih basah. Konon penyebabnya sama, kecelakaan. Tampak keluarga batih masih berhujan air mata. Beberapa dari mereka, utamanya kerabat laki-laki, mencangkul tanah dengan emosional. Mulaqqin mulai sibuk membaca Talqin. Kalimat-kalimatnya membuat gw tercenung. Memang benar, sejatinya kematian adalah cermin yang disediakan Tuhan bagi manusia untuk berkaca. Untuk menyadarkan diri sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Bahwa tiada yang lebih pasti selain dari kematian itu sendiri. Bahwa tiada yang lebih dekat dari kematian, sedekat urat leher kita sendiri. Celakanya, tak ada satu benteng pun di muka bumi ini yang sanggup menahan kita dari takdir kita sendiri ketika saat itu tiba. Kalimat-kalimat itu begitu indah didengar. Seperti pengantar “tidur” yang dinyanyikan oleh mereka yang masih hidup kepada yang baru saja mati. Seperti jembatan yang menghubungkan dua alam. Seperti kalimat-kalimat perpisahan yang tegar namun menjadi amaran dan iktibar bagi mereka yang mengantar. Serupa tuntunan dan petunjuk bagi ruh di “bawah sana” untuk menghadapi apa yang kelak akan terjadi:
“(…) Wahai … bin …, pada hari ini, mulai dari tanggal ini, kamu akan masuk ke negeri akhirat. Kamu akan tinggal di alam Barzah sampai pada suatu masa ketika kelak kamu dibangkitkan untuk berkumpul di Padang Mahsyar. Apabila datang kepadamu dua malaikat, janganlah gentar dan takut, jangan berduka cita dan risau, jangan pula bersusah hati dan terkejut. Ketahuilah bahwasanya mereka itu adalah juga hamba Alloh, sama sepertimu. Lalu apabila mereka menyuruhmu duduk dan menanyakanmu beberapa persoalan, maka jawablah kesemua itu dengan tenang, terang, tepat, cermat, betul, dan dengan segala keteguhan imanmu (…)”
“(…) Di akhirnya, kami ucapkan selamat berpisah dan selamat tinggal kamu di sisi Alloh. Semoga Tuhan berkenan memberi kesejahteraan kepadamu. Tuhan pula yang menetapkan hati kamu. Kami sekalian hanya bisa berdoa. Semoga Ia menjinakkan hati kamu yang liar dan menaruh belas kasihan kepadamu yang berdagang seorang diri di alam kubur ini. Mudah-mudahan Tuhan memberi ampunan, memaafkan kesalahan kamu, serta menerima segala amal kebajikanmu. Sesungguhnya setiap yang bernafas pasti mati.”
(Bersambung… )