Super hectic weeks. Minggu-minggu ini berasa jadi Harry Potter yang ber-disappear dengan portkey ke berbagai tempat. Alhasil? Sakit. Sakit kepala, tenggorokan, flu, batuk, dan demam berturut-turut yang berujung pada sinusitis meski perasaan mah Harry Potter nggak pernah terkena radang sinus. Berawal dari tanggal 19 bulan lalu ketika gw sibuk sendiri di airport ngedorong-dorong trolley segede gaban. Mengangkat dan menurunkan enam ‘buntelan’ pindahan hingga semua tiba dengan baik di kota ini sambil geli sendiri ngebayangin gimana ya rasanya kalo tiba-tiba dijemput seseorang di bandara yang dengan sigap mengulurkan kedua tangannya untuk sekedar membantu ngangkatin koper. Ahahaha… Geli. Geli karena itu semua terlalu mewah buat gw.
Tapi semua kelelahan itu terbayarkan ketika dalam perjalanan Jakarta-Bandung hujan pun turun rintik-rintik dari balik jendela bus. Kerlap-kerlip lautan lampu di malam hari mengaburkan dirinya di kejauhan seiring rinai hujan yang kian lebat. Segera saja gw nyalakan MP3 di handphone dan menenggelamkan diri dalam lautan melankolisme. Dan lalu berkecamuklah segalanya di kepala ini seperti potongan-potongan sekuen dari sebuah roman bernama hidup. Bernama masa lalu dan masa depan sebab masa kini tengah dijalani di atas putaran roda. Barangkali di situlah ajaibnya perjalanan. Kesenyapan yang mau tak mau memaksamu menyusuri lorong waktu atau hanya sekedar berbincang kecil dengan kenalan.
Masih terbayang kejadian satu hari sebelumnya dimana gw dan Alka bertengkar heboh di halaman gara-gara dia ngebikin pincang salah satu kaki anak kucing gw. Terus sama gw dikejar aja dianya sampe jauh banget dan kepalanya berhasil gw timpuk pake sendal. Terus gw balik deh ke rumah sambil nangis iingsrekan di jalan kayak anak kecil. Terus sampe sore si Alkanya nggak berani pulang karena takut sama gw sampe akhirnya dia balik dan kita baikan dan kaki anak kucingnya diurut-urut sama dia sampe sembuh.
Masih terbayang pula ketika satu jam sebelum berangkat nyokap bela-belain pergi ke pasar ngebeliin gw duren dan rela menerobos ‘keamanan’ demi nganterin gw sampe boarding. Bahkan ketika akhirnya si Mingke pulang pun nyokap masih aja kekeuh mau nemenin gw sampe pesawatnya ‘manggil’ seunah. Terus karena nyokap belum makan siang dan mengeluh lapar akhirnya gw paksa aja supaya dia mau cabut ninggalin gw (padahal mah karena gw udah nggak kuat lagi ngantongin air mata di kelopak ini). Terus pas dia udah pergi, gw nangis deh dengan tenang. Tapi beberapa menit kemudian tiba-tiba dia datang lagi dan bilang, “Tanggung ah, mamah masih pengen sama kamu.” Dan akhirnya ketauan deh sama dia kalo gw nangis. Ahaha… F! F! F!

Entah kenapa rasanya gw selalu punya hubungan yang tidak biasa dengan bandara. Jika kehidupan ini sebuah kalimat, maka bagi gw airport adalah spasi yang memberi jeda dari satu morfem ke morfem lain. Seakan ada takdir yang mengintai di baliknya. Karenanya jangan heran kalo gw selalu lebih melankolis di sana dan menghindari percakapan dengan siapapun hanya untuk menangis dengan damai di samping jendela atau sekedar melamun melihat ranting-ranting sungai yang mengecil berganti arakan awan di kejauhan.
Dan sekarang gw di sini, kembali ke kota ini entah menjemput takdir yang mana. Gw benar-benar pergi dengan sorban dililit di muka. Buta, tak melihat apa-apa selain hanya mendengar intuisi dari dalam diri bahwa gw harus segera keluar dari ‘kubangan’ diri sendiri. Tak ada manusia yang mau berlama-lama di tempat becek, begitu Mingke berkata maka begitu pulalah analoginya. Barangkali serupa itu juga perasaan Malin ketika ia hendak merantau meski pada kenyataannya gw bukanlah Malin yang sedang merantau. Gw pulang, dan entah apa yang dipijak Tuhan di sini hingga akhirnya gw kembali. Maka dari itu benarlah sabda si Mingke bahwa selama ini gw telah tersesat di gubuk sendiri entah di limbo yang mana. Bhahahaha… sh#t!
Akan tetapi sudahlah. Setiap kelokan memiliki arti tersendiri meski saat ini hidup gw tak ubahnya seperti rumah pasir yang mesti dibangun dari nol lagi. Mencoba mencari celah sesempit apapun untuk masuk kembali ke dalam lingkaran yang pernah gw tinggalkan. Menghalau kembali apa yang sempat pergi dan menanam bibit baru dengan hanya bermodalkan keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan. Yakin bahwa setelah ini kehidupan akan menjadi lebih baik. Yakin bahwasanya Tuhan tak akan pernah menelantarkan. Demikian gw telah membakar kapal sebab sejarah tidak merangkak, ia melompat (The Black Swan).
Bandung, 10 Agustus 2011
(5.37 am)