Senin, 06 Juni 2011

Ou, Ouranos!

Kemarenan, tanggal 2 Juni 2011 aku dan Mingke pergi ke mall satu-satunya di provinsi ini (hayyaaaaa… hapalagi kalo bukan Duta Mall?). Awalnya niatan kita cuman pengen ke Gramedia doang. Itupun bukan buat beli buku. Hanya sekedar numpang baca di TKP. Biasa, gerakan tak berduit. Wkakakakak… Tapi belon juga masup Gramed, kitanya udah nyangkut aja di lantai 2 tempat dimana sebuah orkestra tengah dilangsungkan. Yeah, ada sejenis acara anniversary gitu untuk sebuah kursus musik. Saat itu mereka lagi asyik memainkan “Yesterday”-nya The Beatles dan beberapa lagu tradisional Banjar. Lalu kami pun terpaku, terbius, membisu… Rasanya udah lama banget nggak nongkrongin yang model begituan. Ditambah lagi di tengah-tengah performance itu tiba-tiba si Mingke setengah teriak, “Ada Yora! Itu… itu… yang pegang mellophone… Yora… Yora Karina… temen gw!” Bener aja, di belakang sana tampaklah sesosok gadis kurus kecil seumuran kita dengan kaos item, rambut pendek sebahu yang dikuncir sekenanya, tampak serius dan khidmat memainkan mellophone dengan penuh percaya diri. Lantas aku dan Mingke pun terdiam…

Tentulah kami sudah saling mengerti isi pikiran masing-masing. Bahwa di saat-saat seperti itu selalu ada rasa kagum berbalut nyeri yang menelisik rongga hati. Rasa yang sulit dijelaskan. Kagum pada sosoknya yang tekun dan gigih dan karena permainannya yang kian hari kian terlatih. Nyeri karena yang bermain sebagus itu bukan kami. Yeah, kami. Kami dengan sejuta impian tentang musik. Yang sejak sekolah dasar ketagihan lomba menyanyi dan gandrung mencipta lagu sendiri. Yang di sekolah menengah pertama sungguh menggilai Siti Nurhaliza dan konon rela menjadi pengepel panggung di Malaysia sana asalkan bisa bersamanya (-_-)

Tapi lihatlah kini, kami. Dari cita-cita menjadi seorang kreator harus rela undur diri dan mengakui bahwa kami hanyalah apresiator yang cuman ngerti sepersekian mili soal musik. Bahwa les-les yang pernah dilakoni kemarenan itu pada akhirnya tidak membuahkan apa-apa karena kami juga melakukannya dengan sepersekian mili kesungguhan. Hanya sepersekian dari keseluruhan mimpi kami yang segede-gede Buto Ijo. Akhirnya tiada satupun yang pernah selesai dari vocal, gitar, brass, keyboard, dll. Maka wajarlah jika kini kami berakhir sebagai seorang pecundang. Seperti anjing menatap tulang.

Padahal kami berdua tak kalah cintanya kepada musik dan seni begitu rupa. Mendengar sebuah lagu dari perangkat suara yang baik sama nikmatnya dengan mengulum pizza hangat dari panggangan. Sungguhlah musik menyirami setiap langkah dan hidup kami. Menyambung tulang-tulang yang patah. Membangkitkan semangat yang rebah. Lantas kepada siapa penyesalan dialamatkan? Bahwa saat ini masih tersisa waktu untuk memulai kembali segalanya, memang benar. Tapi kami telah jauh tertinggal…


Malam itu kami pun bicara panjang. Perbincangan cukup serius seputar titik-titik penting dalam hidup. Bahwa kami memang perlu meninjau ulang beberapa sudutnya hingga merekonstruksinya. Bahwa ada beberapa hal yang boleh dibiarkan mengalir begitu saja namun ada pula yang harus diupayakan sedemikian rupa dengan keinginan yang kuat. Bahwa ada hal-hal yang boleh dijalankan dengan langkah-langkah pelan tetapi ada juga yang mesti dilakukan dengan berlari. Sempat pula terlontar pertanyaan dari si Mingke perihal mengapa aku nggak mau ngelanjutin S2 aja (setidaknya untuk masa sekarang ini) lalu jadi dosen, peneliti, penulis, atau sastrawan yang kemudian kukemukakan alasannya.

Intinya, ada satu kata yang harus kami paku kuat-kuat di langkah kami saat ini: fokus. Karena bagaimanapun juga, aliran energi yang tak teratur tak akan dapat mencipta momentum. Ketiadaan pondasi yang kuat di hari ini hanya akan mempersulit kami di esok nanti. Kami sepakat bahwa kami memerlukan lebih banyak kejelasan dan kepastian dalam hidup, utamanya soal arah dan tujuan. Harus ada struktur kepercayaan yang kohesif untuk sebuah hal besar. Pertama-tama kami mesti tahu apa yang kami inginkan, kami butuhkan, dan motivasi terbesar dari diri kami sendiri. Terlalu banyak ide-ide baru yang tak terfilter hanya akan mencipta kelokan dan simpangan, semrawut, tak ubahnya biji kedondong. Ditambah lagi dengan kecenderungan kami yang impulsif, terlalu sering berubah, dan kurang disiplin. Seringkali kami menelurkan ide-ide baru dari pikiran yang singkat dan kemudian terbangun hanya untuk mendapati bahwa kami telah membuat begitu banyak masalah baru sesudahnya. Terlalu banyak energi yang terbuang percuma dalam perjuangan tak berkiblat tanpa tahu apa yang sebenarnya kami inginkan. Kami harus mengubah cara kerja.

Ou Ouranos, semua itu kau! Sayang aku mesti menanggalkanmu sejenak demi ini. Mungkin kita hanya akan berjumpa di malam hari, dalam kamar berantakan, kertas yang berserakan, secangkir kopi, laptop yang menyala hingga pagi, celana pendek, sandal jepit, rambut tak bersisir, dan kaos lusuh tak berkutang. Ah, mereka tentu tak tahu betapa aku harus membayar mahal semua itu demi sebuah kesuksesan. Membayarnya denganmu. Dengan kebebasanku sendiri. Dengan diriku yang apa adanya tanpa harus berbasa-basi dan berpura-pura. Tapi tidak, sejatinya aku tak pernah meninggalkanmu. Semua yang kulakukan hanya untuk menjemputmu kembali, di sana… suatu hari nanti…


---

Berbahagialah mereka yang tahu mana arah dan tujuan…

(l.u.12.27 pm)