Oh bodoh, bodohnya aku. Entah selama ini hidup dengan apa. Mungkin dengan kabut dan pembalut. Mungkin dengan kamuflase dan fatamorgana. Mungkin dengan mimpi-mimpi dan ilusi. Mungkin dengan lense blur effect hingga kehidupan tetap terasa begitu indah, walau miskin. Walau harga diri harus terinjak-injak karena miskin. Walau hidup kadang menjadi sedikit berbatas karena miskin. Walau tak bisa melakukan apapun sesukanya karena miskin. Tapi lancang punya idealisme ini-itu padahal miskin. Tapi sikap hidup sejatinya pemalas dan tingkah laku agak sedikit extravaganza padahal miskin. Tapi berani punya selera dan cita-cita tinggi akan sandang, pangan, dan papan padahal miskin. Tapi memerlukan gaya hidup yang sehat dan berkualitas di setiap harinya kendati miskin. Tapi ingin keliling dunia guna memperluas cakrawala dan mengekspansikan diri sejauh-jauhnya biarpun miskin. Tapi ingin beramal dan berbuat banyak bagi kesejahteraan hidup umat manusia sekalipun miskin. Tapi ingin belajar tentang segala sesuatu dan menimba ilmu sedalam-dalamnya demi pengetahuan dan kebijaksanaan sedangkan miskin. Tapi ingin menghayati setinggi-tingginya setiap keindahan dalam kehidupan melainkan miskin. Tapi ingin menjaga kaki untuk selalu berada dalam kebajikan dan kebenaran, bebas dari segala kuasa yang menyesatkan kenyataannya miskin. Tapi mendambakan kehidupan yang bebas, tidak terpenjara oleh apapun juga demikiannya miskin. Tapi ini tapi itu tapi banyak maunya tapi miskin. Susah memang kalau miskin. Yeah, aku perlu kaya. Suatu hari nanti aku mesti kaya. Bagaimanapun juga mesti kaya. Walau kekayaan tidak menjamin segala sesuatu setidaknya masih ada banyak hal yang dapat kamu lakukan dengan itu. Karena di muka bumi ini manusia memiliki bahasa cintanya sendiri. Bahasa yang sangat konvensional dan begitu universal: UANG. (l.u.11.57 am)