Selasa, 03 Mei 2011

Si Galuh yang Enggan Bergincu

Pagi ini Banjarmasin sama saja. Pukul delapan matahari sudah terik seperti biasa. Membuat mereka yang baru saja mandi harus rela berkeringat lagi. Jalan-jalan raya masih lurus dan lapang meski di beberapa ruas mulai timbul kemacetan. Rawa-rawa monoton dan dataran rendah alluvial  perlahan berganti menjadi ruko-ruko yang tak henti-hentinya membelah diri dan buka seenak perut sendiri. Mobil dan sepeda motor pun hilir mudik menebas jalan. Beberapa diantaranya kini berplat B seiring semakin banyaknya pendatang yang “melancong” kemari dalam tahun-tahun terakhir.

Tentulah kini masyarakat kita lebih melek Geografi. Karena jika tidak, mereka masih akan serta-merta menyebut “Kalimantan sebagai Dayak”, “Kalimantan adalah Dayak”, atau Kalimantan berarti Dayak”. Ya Dayak, suku asli yang telah dicitrakan sedemikian rupa dengan kehidupan yang serba tradisional dan udik. Terlebih jika Dayak sebagai identitas suku sekonyong-konyong dirangkapkan pula dengan identitas agama untuk menyebut mereka (stereotip orang pedalaman) yang bukan Islam. Padahal saya sendiri terlahir di pulau yang sama sebagai orang Banjar yang (kebetulan saja) Islam oleh karena kedua orangtua saya juga Islam (LOL).

Tak terasa sudah setahun lebih saya tinggal di sini sejak lulus kuliah 2009 lalu. Kota ini memang tempat saya dilahirkan sekaligus tempat saya dibesarkan meski hanya sampai tamat SD. Setelah itu kami sekeluarga pindah ke Jawa Barat dan menyambung hidup di sana hingga saya selesai kuliah. Saya ingat, semasa kuliah dulu rasanya saya gemar sekali mengangkat tema dan wacana yang berkenaan dengan tempat ini dalam berbagai tugas dan makalah. Entah itu pariwisatanya, kesenian tradisionalnya, hingga relasi kekerabatan dan keberagamaan antar suku yang akhirnya saya garap menjadi skripsi. Dulu itu rasanya saya antusias sekali, bersemangat sekali, seperti nostalgia terhadap tempat kelahiran yang seakan “terpaksa” ditinggalkan. Tapi kini, setelah saya diberi kesempatan yang lebih leluasa untuk benar-benar mencermati kota ini, menghayati tanah kelahiran diri sendiri, entah mengapa kawan, rasanya saya merasa sedikit… lesu… 

Mungkin memang saya yang naif. Atau mungkin imajinasi historik saya yang terlalu “wah” hingga saya dan kota ini tak lagi saling berterima dengan realita yang ada kini. Dulu tempat ini begitu bergizi, begitu berisi, begitu sarat dengan kehidupan. Dulu saya serupa semut yang tersesat di belukar. Serupa camar yang melayang-layang di atas selembar biru yang lapang. Serupa bakteri yang hinggap di telinga orang dewasa. Dulu sungai itu sudahlah cukup, hutan karet itu pun cukup, dusun kecil itu cukup. Ramania, gitaan, durian, kapul, klubut, kacapuri, kasturi, dan karamunting itu semua rasanya cukup. Tapi kini, entah mengapa di setiap harinya batin saya selalu saja merasa kekurangan…

Masih pula terkenang kisah-kisah bahari tentang kota ini. Betapa dahulu tempat ini menempati posisi penting sebagai jalan raya utama yang menghubungkan arus perdagangan dari pedalaman ke pesisir. Sebuah kawasan yang tak luput dari ekspansi kekuasaan, kontak perdagangan lokal dengan perdagangan interseluler Indonesia dan dunia, kontak-kontak kebudayaan, penyebaran agama baru, hingga penanaman pengaruh kekuasaan kolonial Belanda yang menyebabkan terbentuknya masyarakat yang begitu majemuk. Inilah kawan, bandar besar, tempat orang Ngaju, orang Maanyan, orang Lawangan, orang Bukit, orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Jawa ber-melting-poot menjadi satu suku bangsa: Banjar.

Tapi itu ratusan tahun yang lalu. Saat manusia sama sekali tak bisa hidup tanpa “air”. Saat sungai benar-benar menjadi budaya yang mengalir deras dalam kehidupan mereka serupa darah di arteri. Kini kita hanya akan melihat “hilirnya” saja, ekor-ekor peradaban yang disisakan para pendahulu, sebuah pasar di sungai nan keruh dan kumuh yang semakin sepi pedagang seiring mahalnya harga sepetak tanah. Ya, pasar itu pasar terapung Muara Kuin yang pasti kalian kenal lewat sebuah iklan di RCTI. Sebuah floating market yang saya harap bisa menyamai ramainya Chao Phraya di Bangkok sana atau seperti Venesia di Timur dunia, tapi tidak.

Alih-alih demikian, konon dalam pembuatan iklan itu RCTI harus pula mendatangkan truk-truk berisi sayuran dan buah-buahan terlebih dahulu dan mengerahkan puluhan sampan demi mendapatkan suasana semarak seperti yang bisa kita temui di dalam iklan. Apakah itu namanya jika bukan sebuah indikasi bahwa pasar terapung Banjarmasin tidak “sesibuk” kelihatannya. Barang-barang dagangan yang diperjualbelikan pun tak seunik dan sevariatif dahulu. Ditambah lagi lingkungan sungai yang kotor oleh karena sampah yang terbawa arus dan rumah-rumah penduduk yang dibiarkan semrawut begitu saja tak tertata.

Padahal ada yang masih bisa “dijual” di sini. Sebuah kota yang terbelah sungai-sungai mestinya bisa berpotensi menjadi sebuah kota air. Transaksi barter antar pedagang berperahu yang sering disebut dengan istilah bapanduk  tentu merupakan sesuatu yang unik dan langka yang jarang ditemui di masa kini. Belum lagi tradisi memancing wadai  (kue) yang pasti akan menarik para pengunjung. Terlebih, pasar terapung Muara Kuin juga merupakan akses yang luas bagi para wisatawan jika mereka ingin berkunjung ke tempat-tempat lain di sekitarnya dengan menggunakan klotok atau speed boat seperti Pulau Kembang (pulau tempat berkembangbiaknya bekantan berhidung panjang) dan Pulau Bakut. Kemudian Mesjid Sultan Suriansyah dan kompleks makamnya tentu akan menjadi ziarah menarik bagi mereka yang menyenangi wisata sejarah dan religi.

Memang tak banyak yang bisa diharapkan dari tempat ini untuk sebuah wisata. Tapi bukan berarti yang sedikit itu tak bisa berkembang sama sekali jika saja pemerintah dan masyarakatnya mau bahu-membahu mengelolanya dengan baik dan lebih kreatif. Pusat permata di Martapura, lokasi pendulangan intan di Cempaka, jembatan Barito yang menghubungkan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, tradisi batimung, kain tradisional sasirangan, dan aneka ragam kuliner khas Banjar yang tentunya tak kalah nikmat dengan kuliner-kuliner lain di nusantara mestinya bisa menjadi sesuatu yang lebih “wah” andai saja masyarakat mau mengemasnya dengan tangan-tangan yang lebih artistik.

Kini lihatlah kota ini. 24 September lalu Banjarmasin genap berumur 484 tahun. Usia yang tak lagi muda sebenarnya. Berkelilinglah di sana pada waktu siang hari. Akan tampak olehmu bangunan baru dan bangunan lama yang terserak begitu saja tak terurus. Beberapa orang mungkin masih akan menyebutnya “klasik” sementara yang lain hanya akan menganggapnya tak lebih dari sebuah lokasi daur ulang. Tak ada yang ditonjolkan di sana selain pasar, warung makan homogen, mall, dan ruko-ruko yang menunjukkan bahwa masyarakatnya lebih sibuk mengenyangkan perut sendiri. Cukup nyaman dengan diri sendiri yang apa adanya hingga tak terlalu peduli bagaimana caranya menyambut tamu atau membentuk citra sedemikian rupa di mata orang lain. Tak seperti Palangka Raya yang bangunannya sarat dengan ukiran atau ornamen bermotif Dayak, Samarinda (yang) kota “tepian”, Balikpapan (yang) kota minyak dan industri, Pontianak yang ramai dengan Tepekong, Banjarmasin tampaknya tak berniat menonjolkan apa-apa. Tak ada yang dipoles di sana, tak juga wajah diri sendiri. Sebuah kota dagang literal yang hampir-hampir tak bermajas. Inilah dia Banjarmasinku, si bungas yang enggan bergincu…

---

1)

Gini geuningan bandara Syamsudin Noor teh, Key?

Iya. Hahaha… leutik nyak? Padahal tanahna legaaaaa…

2)

Ini udah nyampe Bandzermash, Key?

Iya ini Banjarmasin. Kenapa?

Ah, nggak papa. Gini doang geuning?

3)

Kemana lagi besok kita, Key?

Mmmmmmm…

--

(l.u.9.17 am)