Jumat, 20 Mei 2011

Titik Balik

Ini bukan tentang resolusi di jurnal-jurnal akhir tahun tetapi 2010 lalu memang sebuah titik balik dalam hidup saya. Bayangkan saja, dari hiruk-pikuk yang gegap-gempita seketika berfluktuasi menjadi serangkaian kesenyapan-kesenyapan. Dan kalian pasti bosan mendengarnya, tapi percayalah setidaknya saya tidak sedang berbohong. Seakan semua kembali begitu saja ke titik nadir. Seakan seluruh bilangan menyusut ke titik nol, saya seperti dilempar Tuhan ke lembah yang asing nan sunyi lalu disuruh semedi. Layaknya pengemudi yang diminta menepi dan menonton dalam diam para pengendara lain yang bergegas di bahu jalan…

Entah apa pula yang dikandung di dalamnya tapi rasanya seluruh hidup saya, seluruh pola dan tatanannya (jika berpola dan bertatanan), seluruh kerangka dan strukturnya (jika benar berkerangka dan berstruktur), seluruhnya dipotong dadu kemudian dicincang kasar lalu dimasukkan begitu saja ke dalam blender dan wrrrrrrrrrrr semua hancur jadi satu. Lebur membentuk bubur-bubur. Mewujud sesuatu yang sama sekali baru. Atau bayangkanlah lagi sebuah badai dan gempa yang menempa seluruh kota, meluluh-lantakkan semua, memporak-porandakan segala untuk kemudian dibangun lagi sebuah kehidupan nun baru di atasnya. Maka bolehlah kalian sebut ini sebuah transformasi. Introspeksi berkepanjangan yang tak berkesudahan. Seperti ular berganti kulit atau phoenix yang mengabukan dirinya ke dalam api demi terlahir kembali entah untuk apa. Tapi yang pasti semua itu menyakitkan…

Dimana masa lalu tumpah-ruah. Dimana saya membenci diri sendiri. Dimana pula saya merasa sangat kotor dan ingin mencuci bersih segala sesuatu. Saya pikir ini hanya sekedar rangkaian penyesuaian ulang, tetapi tidak: ini sebuah alih bentuk. Di dalamnya terdapat krisis identitas, adukan emosi, dan timbunan kemarahan. Dan mengapa pula hal-hal seperti ini menjadi begitu lumrah bagi saya? Bahwa pertumbuhan-pertumbuhan pribadi semacam ini selalu tak pernah pergi terlalu jauh dari jarak pandang saya? Sementara di luar sana orang-orang dapat begitu asyik dengan sesuatu yang berada di luar diri mereka. Maksud saya, mengapa saya seolah memiliki terlalu banyak kesadaran untuk segala yang abstrak ini?

Bahwa kepala saya senantiasa berada dalam kegelisahan berpikir dan itu sangatlah melelahkan. Dan bahwa di kala tidur pun saya masih pula harus memasuki dunia lain yang juga tak kalah melelahkan. Yang ketika sadar nanti semua itu masih akan menjadi teka-teki, menjelma “algoritma” yang seolah harus dipecahkan, atau persoalan semiotika lain yang mesti ditafsirkan. Dan bahwa tak mudah pula mengabarkan kepada orang lain tentang segala sesuatu yang tengah saya rasakan… [cut!]



(l.u.9.37 am)