J E L A G A
Gelap di sini. Kesepian menyaru lintah, menghisap habis darah
Hingga bisa kudengar suara nafas diri sendiri…
Dan aku begitu kosong, Tuhan… Haus, rapuh, timpang, pincang
Meski hampir seperempat abad tiada kuhenti mengisi kepala ini
Tak setetespun jua mampu kureguk samudera pengetahuan-Mu
Oh aku lupa. Aku bukan lalat yang tak pernah mengaku dirinya bijaksana
Adakalanya Kau bukan kebenaranku, jembatan kita serupa kepalsuan
Adakalanya aku bukan kebajikan-Mu, jalinan ini seperti kebajingan
Akulah jiwa yang mendung yang membendung kemarahan
Berulat benci pada televisi dan koran-koran. Akulah yang sedih
yang muak yang geram yang jijik yang dendam pada diri sendiri
“Bahwa hidup memang ngeri dan gila”, Nietzsche berkata.
Tetapi Tuhan, sedari dulu kalimat-Mu tinggal satu:
“Nasib jiwamu, hai, nasib jiwamu!”
P E N G E R A S U A R A
Ada yang berlomba di panggung-panggung agama
Dari mulut mereka ayat-ayat berganti iklan, neraka berbusa,
dan Tuhan kerjanya mengancam saja.
Dari mulut mereka ayat-ayat berganti iklan, neraka berbusa,
dan Tuhan kerjanya mengancam saja.
H I P O K R I T
“Ibaratkan saja sebuah rendezvous teman lama yang rapat dalam cerita”,
kataku untuk sekedar menghibur diri. Maka segera saja kusulut rindu dan cinta
yang menjilat lamat di tungku hati. Mendesah dalam, lebih dalam, mendesah dalam-dalam, dan…
PRANGGGGG!!! Pecahlah. Untuk kemudian mendua, selingkuh berpoli-poli
Sementara dzahir dan batin sudah seperti resultan yang tak henti tarik-menarik
Lantas engkau pun mencariku. Saat itulah bergegas kubenahi semuanya
Berpolah seolah aku hadir sedari tadi dan tak pernah beranjak
Begitulah aku dan kau, pertemuan kita semata hipokritasi. Lidahku bukan hatiku,
hadirku bukan aku. Mahabesar kau kuangkat dalam setengah mabuk
Rukukku dunia, sujudku dunia, dunia dunia dunia…
Tapi kau masih saja mencariku hingga kau temukan aku pada tasyahud yang oleng,
becek dengan ketaksadaran. “Kemana saja?” tanyamu.
Maaf, lagi-lagi aku lengah…
(l.u.2.07 am)
---