Oh bodoh, bodohnya aku. Entah selama ini hidup dengan apa. Mungkin dengan kabut dan pembalut. Mungkin dengan kamuflase dan fatamorgana. Mungkin dengan mimpi-mimpi dan ilusi. Mungkin dengan lense blur effect hingga kehidupan tetap terasa begitu indah, walau miskin. Walau harga diri harus terinjak-injak karena miskin. Walau hidup kadang menjadi sedikit berbatas karena miskin. Walau tak bisa melakukan apapun sesukanya karena miskin. Tapi lancang punya idealisme ini-itu padahal miskin. Tapi sikap hidup sejatinya pemalas dan tingkah laku agak sedikit extravaganza padahal miskin. Tapi berani punya selera dan cita-cita tinggi akan sandang, pangan, dan papan padahal miskin. Tapi memerlukan gaya hidup yang sehat dan berkualitas di setiap harinya kendati miskin. Tapi ingin keliling dunia guna memperluas cakrawala dan mengekspansikan diri sejauh-jauhnya biarpun miskin. Tapi ingin beramal dan berbuat banyak bagi kesejahteraan hidup umat manusia sekalipun miskin. Tapi ingin belajar tentang segala sesuatu dan menimba ilmu sedalam-dalamnya demi pengetahuan dan kebijaksanaan sedangkan miskin. Tapi ingin menghayati setinggi-tingginya setiap keindahan dalam kehidupan melainkan miskin. Tapi ingin menjaga kaki untuk selalu berada dalam kebajikan dan kebenaran, bebas dari segala kuasa yang menyesatkan kenyataannya miskin. Tapi mendambakan kehidupan yang bebas, tidak terpenjara oleh apapun juga demikiannya miskin. Tapi ini tapi itu tapi banyak maunya tapi miskin. Susah memang kalau miskin. Yeah, aku perlu kaya. Suatu hari nanti aku mesti kaya. Bagaimanapun juga mesti kaya. Walau kekayaan tidak menjamin segala sesuatu setidaknya masih ada banyak hal yang dapat kamu lakukan dengan itu. Karena di muka bumi ini manusia memiliki bahasa cintanya sendiri. Bahasa yang sangat konvensional dan begitu universal: UANG. (l.u.11.57 am)
Senin, 30 Mei 2011
Jumat, 20 Mei 2011
Titik Balik
Ini bukan tentang resolusi di jurnal-jurnal akhir tahun tetapi 2010 lalu memang sebuah titik balik dalam hidup saya. Bayangkan saja, dari hiruk-pikuk yang gegap-gempita seketika berfluktuasi menjadi serangkaian kesenyapan-kesenyapan. Dan kalian pasti bosan mendengarnya, tapi percayalah setidaknya saya tidak sedang berbohong. Seakan semua kembali begitu saja ke titik nadir. Seakan seluruh bilangan menyusut ke titik nol, saya seperti dilempar Tuhan ke lembah yang asing nan sunyi lalu disuruh semedi. Layaknya pengemudi yang diminta menepi dan menonton dalam diam para pengendara lain yang bergegas di bahu jalan…
Entah apa pula yang dikandung di dalamnya tapi rasanya seluruh hidup saya, seluruh pola dan tatanannya (jika berpola dan bertatanan), seluruh kerangka dan strukturnya (jika benar berkerangka dan berstruktur), seluruhnya dipotong dadu kemudian dicincang kasar lalu dimasukkan begitu saja ke dalam blender dan wrrrrrrrrrrr semua hancur jadi satu. Lebur membentuk bubur-bubur. Mewujud sesuatu yang sama sekali baru. Atau bayangkanlah lagi sebuah badai dan gempa yang menempa seluruh kota, meluluh-lantakkan semua, memporak-porandakan segala untuk kemudian dibangun lagi sebuah kehidupan nun baru di atasnya. Maka bolehlah kalian sebut ini sebuah transformasi. Introspeksi berkepanjangan yang tak berkesudahan. Seperti ular berganti kulit atau phoenix yang mengabukan dirinya ke dalam api demi terlahir kembali entah untuk apa. Tapi yang pasti semua itu menyakitkan…
Dimana masa lalu tumpah-ruah. Dimana saya membenci diri sendiri. Dimana pula saya merasa sangat kotor dan ingin mencuci bersih segala sesuatu. Saya pikir ini hanya sekedar rangkaian penyesuaian ulang, tetapi tidak: ini sebuah alih bentuk. Di dalamnya terdapat krisis identitas, adukan emosi, dan timbunan kemarahan. Dan mengapa pula hal-hal seperti ini menjadi begitu lumrah bagi saya? Bahwa pertumbuhan-pertumbuhan pribadi semacam ini selalu tak pernah pergi terlalu jauh dari jarak pandang saya? Sementara di luar sana orang-orang dapat begitu asyik dengan sesuatu yang berada di luar diri mereka. Maksud saya, mengapa saya seolah memiliki terlalu banyak kesadaran untuk segala yang abstrak ini?
Bahwa kepala saya senantiasa berada dalam kegelisahan berpikir dan itu sangatlah melelahkan. Dan bahwa di kala tidur pun saya masih pula harus memasuki dunia lain yang juga tak kalah melelahkan. Yang ketika sadar nanti semua itu masih akan menjadi teka-teki, menjelma “algoritma” yang seolah harus dipecahkan, atau persoalan semiotika lain yang mesti ditafsirkan. Dan bahwa tak mudah pula mengabarkan kepada orang lain tentang segala sesuatu yang tengah saya rasakan… [cut!]
(l.u.9.37 am)
Senin, 16 Mei 2011
Rumah Kesembilan
J E L A G A
Gelap di sini. Kesepian menyaru lintah, menghisap habis darah
Hingga bisa kudengar suara nafas diri sendiri…
Dan aku begitu kosong, Tuhan… Haus, rapuh, timpang, pincang
Meski hampir seperempat abad tiada kuhenti mengisi kepala ini
Tak setetespun jua mampu kureguk samudera pengetahuan-Mu
Oh aku lupa. Aku bukan lalat yang tak pernah mengaku dirinya bijaksana
Adakalanya Kau bukan kebenaranku, jembatan kita serupa kepalsuan
Adakalanya aku bukan kebajikan-Mu, jalinan ini seperti kebajingan
Akulah jiwa yang mendung yang membendung kemarahan
Berulat benci pada televisi dan koran-koran. Akulah yang sedih
yang muak yang geram yang jijik yang dendam pada diri sendiri
“Bahwa hidup memang ngeri dan gila”, Nietzsche berkata.
Tetapi Tuhan, sedari dulu kalimat-Mu tinggal satu:
“Nasib jiwamu, hai, nasib jiwamu!”
P E N G E R A S U A R A
Ada yang berlomba di panggung-panggung agama
Dari mulut mereka ayat-ayat berganti iklan, neraka berbusa,
dan Tuhan kerjanya mengancam saja.
Dari mulut mereka ayat-ayat berganti iklan, neraka berbusa,
dan Tuhan kerjanya mengancam saja.
H I P O K R I T
“Ibaratkan saja sebuah rendezvous teman lama yang rapat dalam cerita”,
kataku untuk sekedar menghibur diri. Maka segera saja kusulut rindu dan cinta
yang menjilat lamat di tungku hati. Mendesah dalam, lebih dalam, mendesah dalam-dalam, dan…
PRANGGGGG!!! Pecahlah. Untuk kemudian mendua, selingkuh berpoli-poli
Sementara dzahir dan batin sudah seperti resultan yang tak henti tarik-menarik
Lantas engkau pun mencariku. Saat itulah bergegas kubenahi semuanya
Berpolah seolah aku hadir sedari tadi dan tak pernah beranjak
Begitulah aku dan kau, pertemuan kita semata hipokritasi. Lidahku bukan hatiku,
hadirku bukan aku. Mahabesar kau kuangkat dalam setengah mabuk
Rukukku dunia, sujudku dunia, dunia dunia dunia…
Tapi kau masih saja mencariku hingga kau temukan aku pada tasyahud yang oleng,
becek dengan ketaksadaran. “Kemana saja?” tanyamu.
Maaf, lagi-lagi aku lengah…
(l.u.2.07 am)
---
Selasa, 03 Mei 2011
Si Galuh yang Enggan Bergincu
Pagi ini Banjarmasin sama saja. Pukul delapan matahari sudah terik seperti biasa. Membuat mereka yang baru saja mandi harus rela berkeringat lagi. Jalan-jalan raya masih lurus dan lapang meski di beberapa ruas mulai timbul kemacetan. Rawa-rawa monoton dan dataran rendah alluvial perlahan berganti menjadi ruko-ruko yang tak henti-hentinya membelah diri dan buka seenak perut sendiri. Mobil dan sepeda motor pun hilir mudik menebas jalan. Beberapa diantaranya kini berplat B seiring semakin banyaknya pendatang yang “melancong” kemari dalam tahun-tahun terakhir.
Tentulah kini masyarakat kita lebih melek Geografi. Karena jika tidak, mereka masih akan serta-merta menyebut “Kalimantan sebagai Dayak”, “Kalimantan adalah Dayak”, atau Kalimantan berarti Dayak”. Ya Dayak, suku asli yang telah dicitrakan sedemikian rupa dengan kehidupan yang serba tradisional dan udik. Terlebih jika Dayak sebagai identitas suku sekonyong-konyong dirangkapkan pula dengan identitas agama untuk menyebut mereka (stereotip orang pedalaman) yang bukan Islam. Padahal saya sendiri terlahir di pulau yang sama sebagai orang Banjar yang (kebetulan saja) Islam oleh karena kedua orangtua saya juga Islam (LOL).
Tak terasa sudah setahun lebih saya tinggal di sini sejak lulus kuliah 2009 lalu. Kota ini memang tempat saya dilahirkan sekaligus tempat saya dibesarkan meski hanya sampai tamat SD. Setelah itu kami sekeluarga pindah ke Jawa Barat dan menyambung hidup di sana hingga saya selesai kuliah. Saya ingat, semasa kuliah dulu rasanya saya gemar sekali mengangkat tema dan wacana yang berkenaan dengan tempat ini dalam berbagai tugas dan makalah. Entah itu pariwisatanya, kesenian tradisionalnya, hingga relasi kekerabatan dan keberagamaan antar suku yang akhirnya saya garap menjadi skripsi. Dulu itu rasanya saya antusias sekali, bersemangat sekali, seperti nostalgia terhadap tempat kelahiran yang seakan “terpaksa” ditinggalkan. Tapi kini, setelah saya diberi kesempatan yang lebih leluasa untuk benar-benar mencermati kota ini, menghayati tanah kelahiran diri sendiri, entah mengapa kawan, rasanya saya merasa sedikit… lesu…
Mungkin memang saya yang naif. Atau mungkin imajinasi historik saya yang terlalu “wah” hingga saya dan kota ini tak lagi saling berterima dengan realita yang ada kini. Dulu tempat ini begitu bergizi, begitu berisi, begitu sarat dengan kehidupan. Dulu saya serupa semut yang tersesat di belukar. Serupa camar yang melayang-layang di atas selembar biru yang lapang. Serupa bakteri yang hinggap di telinga orang dewasa. Dulu sungai itu sudahlah cukup, hutan karet itu pun cukup, dusun kecil itu cukup. Ramania, gitaan, durian, kapul, klubut, kacapuri, kasturi, dan karamunting itu semua rasanya cukup. Tapi kini, entah mengapa di setiap harinya batin saya selalu saja merasa kekurangan…
Masih pula terkenang kisah-kisah bahari tentang kota ini. Betapa dahulu tempat ini menempati posisi penting sebagai jalan raya utama yang menghubungkan arus perdagangan dari pedalaman ke pesisir. Sebuah kawasan yang tak luput dari ekspansi kekuasaan, kontak perdagangan lokal dengan perdagangan interseluler Indonesia dan dunia, kontak-kontak kebudayaan, penyebaran agama baru, hingga penanaman pengaruh kekuasaan kolonial Belanda yang menyebabkan terbentuknya masyarakat yang begitu majemuk. Inilah kawan, bandar besar, tempat orang Ngaju, orang Maanyan, orang Lawangan, orang Bukit, orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Jawa ber-melting-poot menjadi satu suku bangsa: Banjar.
Tapi itu ratusan tahun yang lalu. Saat manusia sama sekali tak bisa hidup tanpa “air”. Saat sungai benar-benar menjadi budaya yang mengalir deras dalam kehidupan mereka serupa darah di arteri. Kini kita hanya akan melihat “hilirnya” saja, ekor-ekor peradaban yang disisakan para pendahulu, sebuah pasar di sungai nan keruh dan kumuh yang semakin sepi pedagang seiring mahalnya harga sepetak tanah. Ya, pasar itu pasar terapung Muara Kuin yang pasti kalian kenal lewat sebuah iklan di RCTI. Sebuah floating market yang saya harap bisa menyamai ramainya Chao Phraya di Bangkok sana atau seperti Venesia di Timur dunia, tapi tidak.
Alih-alih demikian, konon dalam pembuatan iklan itu RCTI harus pula mendatangkan truk-truk berisi sayuran dan buah-buahan terlebih dahulu dan mengerahkan puluhan sampan demi mendapatkan suasana semarak seperti yang bisa kita temui di dalam iklan. Apakah itu namanya jika bukan sebuah indikasi bahwa pasar terapung Banjarmasin tidak “sesibuk” kelihatannya. Barang-barang dagangan yang diperjualbelikan pun tak seunik dan sevariatif dahulu. Ditambah lagi lingkungan sungai yang kotor oleh karena sampah yang terbawa arus dan rumah-rumah penduduk yang dibiarkan semrawut begitu saja tak tertata.
Padahal ada yang masih bisa “dijual” di sini. Sebuah kota yang terbelah sungai-sungai mestinya bisa berpotensi menjadi sebuah kota air. Transaksi barter antar pedagang berperahu yang sering disebut dengan istilah bapanduk tentu merupakan sesuatu yang unik dan langka yang jarang ditemui di masa kini. Belum lagi tradisi memancing wadai (kue) yang pasti akan menarik para pengunjung. Terlebih, pasar terapung Muara Kuin juga merupakan akses yang luas bagi para wisatawan jika mereka ingin berkunjung ke tempat-tempat lain di sekitarnya dengan menggunakan klotok atau speed boat seperti Pulau Kembang (pulau tempat berkembangbiaknya bekantan berhidung panjang) dan Pulau Bakut. Kemudian Mesjid Sultan Suriansyah dan kompleks makamnya tentu akan menjadi ziarah menarik bagi mereka yang menyenangi wisata sejarah dan religi.
Memang tak banyak yang bisa diharapkan dari tempat ini untuk sebuah wisata. Tapi bukan berarti yang sedikit itu tak bisa berkembang sama sekali jika saja pemerintah dan masyarakatnya mau bahu-membahu mengelolanya dengan baik dan lebih kreatif. Pusat permata di Martapura, lokasi pendulangan intan di Cempaka, jembatan Barito yang menghubungkan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, tradisi batimung, kain tradisional sasirangan, dan aneka ragam kuliner khas Banjar yang tentunya tak kalah nikmat dengan kuliner-kuliner lain di nusantara mestinya bisa menjadi sesuatu yang lebih “wah” andai saja masyarakat mau mengemasnya dengan tangan-tangan yang lebih artistik.
Kini lihatlah kota ini. 24 September lalu Banjarmasin genap berumur 484 tahun. Usia yang tak lagi muda sebenarnya. Berkelilinglah di sana pada waktu siang hari. Akan tampak olehmu bangunan baru dan bangunan lama yang terserak begitu saja tak terurus. Beberapa orang mungkin masih akan menyebutnya “klasik” sementara yang lain hanya akan menganggapnya tak lebih dari sebuah lokasi daur ulang. Tak ada yang ditonjolkan di sana selain pasar, warung makan homogen, mall, dan ruko-ruko yang menunjukkan bahwa masyarakatnya lebih sibuk mengenyangkan perut sendiri. Cukup nyaman dengan diri sendiri yang apa adanya hingga tak terlalu peduli bagaimana caranya menyambut tamu atau membentuk citra sedemikian rupa di mata orang lain. Tak seperti Palangka Raya yang bangunannya sarat dengan ukiran atau ornamen bermotif Dayak, Samarinda (yang) kota “tepian”, Balikpapan (yang) kota minyak dan industri, Pontianak yang ramai dengan Tepekong, Banjarmasin tampaknya tak berniat menonjolkan apa-apa. Tak ada yang dipoles di sana, tak juga wajah diri sendiri. Sebuah kota dagang literal yang hampir-hampir tak bermajas. Inilah dia Banjarmasinku, si bungas yang enggan bergincu…
---
1)
Gini geuningan bandara Syamsudin Noor teh, Key?
Iya. Hahaha… leutik nyak? Padahal tanahna legaaaaa…
2)
Ini udah nyampe Bandzermash, Key?
Iya ini Banjarmasin. Kenapa?
Ah, nggak papa. Gini doang geuning?
3)
Kemana lagi besok kita, Key?
Mmmmmmm…
--
(l.u.9.17 am)
Langganan:
Postingan (Atom)