Jumat, 29 April 2011

Me Likey!!!

Aku baru dapet kado dari seorang temen. Barang-barang ‘kecil’ yang sebenernya udah lama aku pengen. Hiyaaaaaaa… betuuuuuuul… kacamata renang sama snorkel-nyaaaaaaa… Wuihhh, aku seneng bangettt… Sama senengnya waktu dulu aku dapet kado congklak sama catur dari si Ucing dan si Babon. Sampe sekarang congklak sama caturnya masih ada. Masih kusimpen. Masih bagus…

Nggg… gimana ya ngejelasinnya? Aku jarang banget soalnya seneng kaya gini. Hahahaha… lebih nggak sih? Masalahnya jarang juga ada orang yang bener-bener ngerti apa yang kupengenin. Rata-rata mereka suka nggak percaya kalo di waktu ulang tahun misalnya, aku bilang aku pengen dikadoin sebotol Mix-max atau sekotak Yupi atau peta dunia yang gede banget atau globe atau gulali dan boneka Nemo atau cuman sekedar tambahan ikan di akuariumku. Jatoh-jatohnya mereka tetep aja ngasih aku buku lagi buku lagi seakan-akan aku ini emang bener-bener kutunya buku padahal nggak sama sekali…

Kayak dulu tuh ya pas aku ulang tahun. Aku bilang aku pengen banget punya asbak warna kuning. Sampe tiba waktunya aku berenti ngerokok pun nggak ada yang kepikiran ngasih itu padahal aku serieus. Mereka malah lebih memilih ngabisin uangnya untuk barang-barang yang jauh lebih mahal dari sekedar asbak rokok…

Mhahaha… nggak ngerti juga. Mungkin karena bungkus aku kali ya. Kalo dalam astrologi tuh namanya ascendant (Asc), atau rising sign, atau ‘topeng’ dan bagaimana kamu tampak luar. Kebetulan konon apa yang menjadi ascendant dan ‘daleman’ aku tuh beda banget. Luarnya api dalemnya air. Luarannya Sagittarius dalemannya Pisces. Itulah kenapa yang ‘ditangkep’ sama orang-orang di luar tuh nggak selalu merepresentasikan aku. Banyak juga loh konflik-konflik kecil yang muncul gara-gara itu atau hanya sekedar misinterpretasi dari apa yang diekspektasikan orang lain terhadap aku. Salah satu contoh kecilnya ya hal-hal kaya itu tadi…

Tapi ah, nggak penting deh. Malah curcol. Malah ngomongin astrologi. Semua orang juga bakal seneng kali kalo dikasih apa yang udah lama dipengenin, iya kan? Kaya aku sekarang ini. Hahahaha… Thanky ya Deviarana sayaaaaang… Asalnya cuman mau ngerampok si Mingke doang mumpung ada kesempatan, eh taunya malah kamu yang bujug-bujug beliin. Makasih ya, makasih banget… Nanti aku nyusul lagi beli fins  sama mask-nya terus kita bertiga bisa diving  beneran di Bali. Amen.




























Next: mountain bike, astronomical telescope, sama sepatu roda *ngelunjak yeuh *LOL :D

Kamis, 21 April 2011

Rumah Ketiga

K A T A L I S

Tiada yang mengerti kesedihan bangku taman di pagi ini
Di hadapannya, menara yang dahulu menundukkan kepala
kini mendongak menusuk matahari. Hanya beburung
melintas sesekali, hinggap di atas keduanya,
memerpatikan kesenyapan.

“Ah, siapa peduli?”
Setiap pena menginginkan cerita
Membuat dunia tak lagi tampak sederhana
Hingga waktu menjamu mereka di meja yang sama

Tapi bangku tetap menunggu, menengadahkan kepalanya
dan berkata, “Masihkah kita memiliki sesuatu?”


/\ R L O J I

/\ku tak\/t waktu ia yang merayap lamat seperti lumut pada batu
/\ku tak\/t waktu ia yang menusuk dalam diam /\ku tak\/t
waktu ia yang merampas segala-gala /\ku tak\/t
waktu ia yang fana dan sementara /\ku tak\/t
waktu ia yang jujur & sederhana /\ku tak\/t
waktu tak\/t petang tak\/t pulang tak\/t
hilang tanpa sempat berbuat apa-apa.


I N T E R M E S O

Hidup siapa
yang ]sedang[
kau jalani?” []

---
Bilangan Gajahmada, 21 April 2011 (7.47 am)




Minggu, 17 April 2011

Warn3t

Seperti orang Banjar pada umumnya, sebagian besar keluarga gw di sini juga berprofesi sebagai pedagang. Mereka adalah orang-orang yang (semestinya) bertanggungjawab terhadap slogan “Banjarmasin kota seribu sungai” yang diplesetkan menjadi “seribu ruko dan puluhan ribu sepeda motor”. Masyarakat Banjar sendiri mengenal ruko sebagai singkatan dari ‘rumah’ dan ‘toko’, yakni tempat bagi mereka, para pedagang yang menyatukan tempat tinggalnya dengan tempat berjualan (biasanya terdiri dari dua lantai, lantai atas berfungsi sebagai rumah dan lantai bawah sebagai toko).

Kembali pada keluarga besar gw yang “pedagang”, macam-macam pula bisnis keluarga ini. Ada yang buka hotel, toko sepeda, toko handphone, toko baju, toko besi, bengkel motor, toko kelontong dan barang-barang pecah-belah, hingga warnet tempat gw pernah bekerja.

Nah, berbeda dengan warnet-warnet di Pulau Jawa yang konon berangsur sepi, warnet di sini justru tengah memulai geliatnya dalam beberapa tahun terakhir. Booming warnet (termasuk wargames) di sini dimulai ketika para investor latah berlomba-lomba mengisi pojok-pojok lahan kosong dengan bilik-bilik warnet yang ramai pengunjung. Fasilitas yang disediakan pun tergolong lengkap; koneksi internet berkecepatan tinggi, monitor LCD 19-inch yang menggantikan monitor tabung, ruangan ber-AC, hingga cafĂ©. Alhasil, tengoklah kini jalan-jalan di Banjarbaru, Banjarmasin, dan Martapura, tentulah tak susah mencari warnet (yang semoga saja belum penuh).

Sebenarnya gw sendiri heran, mengapa para investor itu seakan berlomba membuka warnet? Padahal mereka tentunya mafhum bahwa bisnis warnet bukanlah bisnis jangka panjang seperti halnya bisnis wartel yang dulu booming dan berangsur-angsur decline seiring banyaknya orang yang mulai menggunakan telepon genggam. Begitu pun kini yang terjadi pada warnet ketika internet cepat dan murah semakin mudah saja diakses oleh banyak orang di laptop masing-masing.

Tapi ah, ya ya ya… Sebenarnya dalam tulisan ini gw nggak bermaksud melakukan analisis apapun tentang bisnis, secara gw gak ngerti apa-apa tentang itu. Sebenarnya gw cuman pengen curhat, curhat tentang warnet, tentang keseharian warnet, tentang apa aja yang pernah gw temuin di warnet, yaaaaaaa… tentang segala rutinitaslah yang pernah gw jalanin dulu…

---

Well, warnet tempat gw pernah bekerja berlokasi di sekitar lingkungan pasar. Satu kompleks dengan toko-toko keluarga gw yang lain. Setiap hari gw berkewajiban membuka toko jika kebagian shift  pagi dan tutup toko jika shift  malam. Karena lokasinya yang berada di dalam pasar, maka para pelanggan kami pun tak jauh-jauh dari masyarakat pasar, mulai dari balita (ini serius), anak-anak sekolah, remaja, hingga oom-oom dan kakek-kakek (entah mengapa ibu-ibu jarang sekali). Dengan lokasi seperti itu, secara otomatis gw juga terbiasa berinteraksi dengan para pedagang sayur, tukang parkir, satpam hotel, tukang jahit, hingga petugas pegadaian.

Setiap harinya gw selalu berangkat dengan setelan yang pasti; celana jeans  berumbai-rumbai yang digunting selutut, kaos, jaket, masker, helm, sandal jepit, tas selempang, dan kantong kresek yang isinya kotak makan lengkap dengan termos minumnya. Ber-beat  merah bersama si Mingke menempuh perjalanan 10 km dengan terkantuk-kantuk oleh karena jalanan di sini yang hampir selalu lurus.

Sesampainya di warnet, pasar tumpah ruah. Beberapa pelanggan ada yang sudah duduk-duduk di depan ruko menunggu kami buka. Mereka adalah anak-anak yang keranjingan games dan akan mempertaruhkan jiwa-raganya demi menduduki box-box favorit begitu papan closed  berganti menjadi papan open seakan-akan itu memang sebuah award. Diantaranya ada yang bahkan rela adu jotos segala. Yang kalah, seperti biasa, akan pulang ke rumah sambil menangis.

Setelah membuka toko dari pintu belakang, biasanya gw hanya punya waktu sekitar 15 menit untuk bersih-bersih sebelum anak-anak itu mulai merangsek masuk dengan tak sabar. Dan dalam waktu 15 menit itu, gw berkesempatan menemukan baaaaaaanyak… sekali jenis sampah tak wajar yang sengaja atau tak sengaja ditinggalkan para pelanggan dalam sehari/semalam sebelumnya. Sebut saja plastik berisi jus alpukat yang sudah basi, batu-batu kerikil yang dipungut dari jalanan, karet penghapus yang digunting-gunting dengan isengnya, bekas permen karet yang ditempelkan ke LCD, bungkus sisa mie kering yang biasa dimakan sebagai cemilan sambil main games, duit-duit receh, memory card, KTP, flash disk, hingga HP. Belum lagi pelanggan yang ngumpet-ngumpet ngerokok dan membuang begitu saja abunya ke dalam CPU atau menebarkannya di atas keyboard. Oemjiy…

Selesai berbenah, anak-anak pun masuk. Mereka mulai ribut satu sama lain tentang games yang akan dimainkan sementara gw mulai menyibukkan diri dengan akuntansi tanggal kemarin. Setelah semuanya balance, gw akan pergi ke belakang untuk mencuci tangan dan memesan segelas teh panas. Ketika gw mulai sibuk membuka Email, Facebook, Twitter, dan beragam akun lain sambil menyusun playlist di Winamp dan mendownload ini-itu, di luar sana Satpol PP juga tengah sibuk meneriaki para pedagang sayur. Suara mikrofon mereka beradu kencang dengan suara pengamen pasar yang tengah menyanyikan hits-hits  dangdut terbaru, dan tentu saja dengan suara Point Blank yang berasal dari PC “para pelanggan”. Sesekali ritual itu memperoleh intermeso dari orang-orang yang berkebutuhan dengan faximile. Dari sanalah ritual warnet yang sesungguhnya dimulai, sampai tiba waktu kami menutup toko.

--

Jadi, apa yang sebenarnya gw peroleh selama 7 bulan menyelami rutinitas itu? Realita, ya realita! Perangai masyarakat dalam wujud yang sebenar-benarnya! Mengelola warnet di lingkungan pasar ternyata bukan hanya soal mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, tetapi juga menghadapi aneka realita dalam satu waktu. Kalaulah terdapat gradasi warna dalam rentang 1 s.d.10, maka kita akan melihat seluruh komponennya. Melihat hierarki dan kesenjangan yang membentang di dalamnya. Melihat mereka yang terseret-seret dalam transisi budaya, dalam kondisi setengah tertidur dan terjaga…

Miris rasanya, setiap hari mendengar teriakan dan sumpah-serapah anak-anak itu yang tak henti-hentinya main games sambil ngemil mie kering disaat mereka seharusnya sekolah dan mengaji. Miris, mendapati balita yang terang-terangan minta dibukakan “Kiki Fatmala”. Miris, melihat anak tunawicara yang datang ke warnet untuk pertama kalinya, membawa alat pancing dan seember ikan tanpa tahu harus berbuat apa. Miris, menghadapi kenakalan-kenakalan remaja yang seringkali iseng mengakali billing, lalu ngutang dan nggak bayar tapi besoknya berani datang lagi (atau hanya sejenis kenakalan-kenakalan kecil seperti menaruh kaus kaki di atas AC). Miris, dengan benih-benih manusia yang "menghibur diri sendiri" ketika shift malam tiba. Miris terhadap para ABG yang pengen gaul tapi nggak tahu bahwa untuk membuat sebuah akun Facebook diperlukan Email dan kemudian bertanya, “Email itu apa?”. Miris terhadap calon pejabat daerah yang mengkampanyekan dirinya sampai ke sana lalu membagi-bagikan kartu namanya kepada seluruh pelanggan. Miris terhadap anak-anak sekolah yang berkedok minta dibukain Google padahal minta dikerjain PR. Miris terhadap alay-alay pasar yang minta didownload-in puluhan lagu seenaknya sambil tak habis pikir, mengapa mereka tidak pernah mencoba melakukannya sendiri padahal udah gw ajarin berulang kali?. Ah, miris dengan semuanyaaaaaaa…

Walaupun memang banyak juga hal manis di balik semua itu. Seperti pedagang buah baik hati yang suka membagi-bagikan jambu biji. Orang gila di pasar yang jago ngomong English. Segelas teh manis panas dan hujan di balik jendela. Seluruh pelanggan yang kerap bernyanyi bersama sambil menunggu hujan reda. Hiruk-pikuk pasar jam 3 subuh jika kebetulan gw tengah bermalam di sana. Sate rasa karamel. Ritual repotnya mati lampu lalu kabur ke KFC dan aktivitas sulap-sulapan bareng si Mingke seperti foto di bawah ini… :D

-

(l.u.12.37 am)

*oops, yang ini jeans-nya pengecualian :p

Sabtu, 09 April 2011

Yang Hampir Pamungkas

Mama bilang proses kelahiranmu paling rumit di antara kami bertiga. Kamu lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Kalimantan pada suatu tengah malam buta dengan hanya dibantu oleh seorang bidan kampung biasa. Mama juga bilang bahwa konon ketika kamu lahir itu, di halaman rumah telah berjaga sejenis kuyang (hantu kepala) yang turut menanti kelahiranmu. Beruntung sang bidan sigap mengambil parang, menuliskan beberapa rajah dengan kapur basah di atasnya, lalu menyimpannya di bawah ranjang. Dan entah bagaimana pada akhirnya kuyang  itu pun “pulang”.

Aku belum genap berumur dua tahun ketika kamu lahir. Karena itulah, jarak kelahiran yang terpaut tak terlampau jauh membuat kita tumbuh bersama. Akan tetapi, dalam perkembangannya justru sangat sulit bagi kita untuk “berkakak” dan “beradik”. Dan karena itu pula, interaksi di antara kita selalu marak dengan rebutan mainan hingga perkelahian ini-itu.

Tak banyak yang bisa kuingat tentang kamu dari masa kecil kita dulu. Mama bilang, aku juga pernah hampir membunuhmu dengan membelesakkan selembar kantong plastik kecil ke dalam mulutmu saat kamu baru saja lahir. Selain itu tak banyak, tak banyak yang bisa kuingat sejak kamu mulai bisa mengumpat bantat tantut bunyuy  lalu lari terbirit-birit…

Tapi aku masih ingat ketika pada suatu hari papa mengajakmu pergi ke kebun binatang. Perasaan mama di rumah sangat cemas ketika lewat tengah hari kalian belum juga pulang. Dan benar saja, kamu pulang dengan darah membanjir di sekitar tangan. “Digigit monyet”, kata papa dengan entengnya. “Iseng sih pake ngasih-ngasih kacang segala”. Aku ingat saat itu mama marah besar karena menganggap papa tidak mampu menjagamu dengan baik. Tapi luka itu memang serius. Kamu terkena rabies yang membawamu berobat sampai ke luar Kalimantan. Bahkan hingga saat ini ibu jari yang luka itu tetap saja kaku dan tak bisa digerakkan lagi. Dokter bilang sendi kamu rusak, lukanya pun sangat membekas hingga aku selalu sibuk menyiapkan jawaban kala teman-temanmu bertanya tentang itu.

Pernah juga pada suatu hari kamu iseng menggendongku. Waktu itu kamu masih TK, perawakanmu kurus dan kecil, tapi entah bagaimana aku mau saja kamu gendong. Hingga akhirnya kamu terjatuh dan meringis kesakitan sambil berkata bahwa tanganmu tak dapat digerakkan lagi. Saat kutengok, tangan itu sudah bengkok. Beberapa menit kemudian papa pun melarikanmu ke rumah sakit. Lenganmu patah dan aku dimarahi habis-habisan. Begitulah, kamu kecil begitu ringkih hingga rawan kecelakaan…

Tapi kamu anak yang keras. Jika berkelahi dengan teman-temanmu kamu selalu bertindak nekat. Sering kulihat kamu pulang ke rumah dengan terburu-buru sambil bercucuran air mata, berlari menuju dapur, dan mengambil apapun benda tajam yang bisa kamu temukan di sana. Jika itu terjadi, mama akan sangat sibuk meleraimu, mencoba meredakan emosimu dengan berbagai macam cara.

Pernah sekali waktu kamu berhasil membawa ke luar sebuah parang tanpa sepengetahuan mama. Temanmu yang ketakutan itu lalu lari terbirit-birit dan mengadukanmu pada ayahnya. Ayahnya yang marah lantas pergi memburumu. Kamu menghilang. Sampai sore tidak juga ditemukan. Bersyukur pada akhirnya seorang tetangga mendapatimu tengah tertidur di kolong rumah orang lain. Ahahahaha…

Dan entah mengapa kita selalu saja menangis saat disuruh mama tidur siang. Mungkin kita kesal karena tidak diperbolehkan bermain seharian seperti anak-anak desa yang lain. Jika membantah, mama akan segera mengancam kita dengan sepotong cabe merah besar dan juga balsem. Lalu kamu pun tertidur. Tapi tahukah kamu, saat kamu tertidur itu, mama selalu mengijinkan aku untuk kembali bermain bersama yang lain? (:p)

---

Hingga akhirnya papa memboyong kita berdua pindah ke Pulau Jawa. Alih-alih disekolahkan bersama, papa malah membawamu ke Garut sementara aku bersekolah di Bandung. Kamu tentu tak tahu, bahwa sejak itu aku kerapkali merindukanmu hingga sering menangis di balik sofa atau di bawah bed cover. Dan jika sore tiba, aku akan naik ke atas loteng lalu membayangkan kamu dan mama berada dekaaaaaaat… sekali di balik gunung itu, atau menggambar apapun sesukaku tentang kalian, termasuk lukisan obat merah di dinding-dinding rumah yang membuat nenek sangat marah. Seringkali untuk mengusir kesepianku, aku juga menciptakan beberapa lagu untuk kalian lalu berkhayal tentang jari-jemari kita yang memiliki dunianya sendiri…

Aku juga ingat ketika pada suatu hari papa menjadi sangat marah kepadamu saat kamu menolak mandi tanpa air panas. Udara pagi Garut yang kelewat dingin memang membuat gila siapapun. Papa yang marah lalu merendammu di kolam ikan. Tak ketinggalan, sepeda bututmu turut diceburkan papa ke sana. Kamu menggigil kedinginan dalam seragam merah-putih itu lalu kabur dari rumah selama tiga hari tiga malam. Papa yang frustasi karena tak berhasil mencarimu lantas melampiaskan kemarahannya dengan memecahkan kaca jendela. Sejak itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak di malam hari karena selalu diserang banyak nyamuk.

--

Beranjak dewasa setelah “kepergian” papa, kamu memilih urung kuliah dan memutuskan bekerja di Jakarta demi menopang perekonomian kita. Sejak saat itu, kamulah tulang punggung merangkap kepala keluarga. Beberapa orang tercengang mendapatimu telah tumbuh menjadi pria yang sangat dewasa di usia yang sangat muda. Begitulah, kehidupan yang “keras” acapkali menempa dan mengasah mental kita…

Sampai pada suatu hari kamu mengajakku makan malam dan memperkenalkan seseorang. Dengan malu-malu meminta restuku untuk sebuah lingkaran baru. Aku terhenyak, tak menyangka begitu cepat. Di usia semuda itu kamu berani mengambil keputusan-keputusan besar. Tapi hidup Tuhan yang tahu dan aku hanya bisa tertegun mendapati undangan manis berpita coklat hadir di beranda rumah kita pagi itu. Dan sore ini, kamu kembali membawa tunas kebahagiaan baru bagi keluarga kecil kita…

-

“Selamat datang di dunia, my niece Mesha…”

-

Jakarta, 05 April 2011

(5.37 pm)


Rabu, 06 April 2011

Liquory (1)

Namanya Liquory, tapi cukup panggil ia “Lee” karena ia senang dipanggil demikian. Ada sesuatu yang Lee tidak suka dari dirinya. Sesuatu yang ganjil, aneh, dan tidak biasa bagi se… bagi se… bagi air. Karena tidak seperti air-air yang lain, Lee tidak diberkahi gravitasi. Ia tidak bisa mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tidak menguap, mengembun, ataupun membeku. Tidak mampu membawa partikel-partikel kecil seperti debu. Tidak juga memiliki kapilaritas terhadap benda berpori apalagi menyatu dengan minyak. Benar-benar tidak berguna bagi kehidupan, meskipun tidak membahayakan…

Itulah sebabnya Lee selalu melayang-layang seperti hantu. Gentayangan kesana-kemari. Padahal sama seperti yang lain, ia pun tercipta dari senyawa dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Sama-sama H2O. Tapi takdir berkata lain. Tuhan menginginkan Lee menjadi ‘alien', sesuatu yang berada di luar lingkaran,"march to a different drummer"

---

Menurut gosip yang beredar, konon ayah Lee adalah air hujan yang menetes dari langit-langit kamar yang bocor. Pada suatu malam ketika hujan turun dengan lebatnya, air tersebut menetes tepat di atas sebuah cangkir berisi air teh. Di sanalah untuk pertama kali ayah dan ibu Lee bertemu.

Tak ada ‘seorang’ pun yang mau berteman dengan Lee karena ia cacat dan aneh. Setiap kali ia mencoba menjalin sebuah hubungan, pertemanan itu selalu gagal dan berakhir dengan permusuhan. Tak ada yang mampu bertahan bersamanya. Karena itulah Lee tumbuh menjadi air penyendiri, air yang terbuang yang tak pernah percaya pada tulusnya persahabatan…

Seringkali ia merasa iri pada air-air yang lain, entah itu air di bak mandi, air selokan, air kencing, hingga air mani. At least mereka semua kembali, membentuk siklus yang sempurna, dari awan turun ke gunung dari gunung ke muara. At least  mereka semua jujur, dari nama ke wujud dari wujud ke rupa dari rupa ke sifat dari sifat ke rasa. Mereka semua pintar, pintar menyesuaikan diri, pintar menyelesaikan persoalannya sendiri…

Tak jarang mereka yang sempurna itu mengejek Lee. Seperti yang sering dilakukan sekaleng Coca-Cola  dan sebotol cuka. Mereka berdua amat bangga terhadap kaleng dan botolnya seperti manusia terhadap mobil dan rumahnya. Mereka bilang, air yang tertahan adalah air yang rusak dan bahwa air hanya akan jernih jika mengalir. Tetapi seperti biasa Lee diam saja. Memangnya apa yang bisa ia lakukan?

--

Lee sudah bosan mengetuk pintu-pintu yang tak pernah menunggunya pulang. Adakalanya ia menangis sendirian meratapi nasibnya itu. Kepada pantai ia suarakan keluh-kesahnya. Bahwa menjadi tak bertepi seperti itu begitu mengganggu. Bahwa dalam keadaan demikian, kerapkali ia merasa terancam oleh dirinya sendiri. Pantai yang merasa iba dan kasihan pun lantas meminta maaf kepada Lee karena tak bisa membantunya sama sekali. Karena sudah ada samudera yang juga mesti ia jaga…

Hari itu Lee merasakan dirinya amat letih. Letih menerima tapi tak kunjung memberi. Letih membendung energinya sendirian tanpa pernah bisa berbagi. Ia sendiri tak mengerti, entah mengapa ia selalu saja disibukkan oleh sesuatu yang ia cintai daripada sesuatu yang ia benci. Telah lama ia biarkan dirinya tersangkut-sangkut gelombangnya sendiri. Tersesat dalam ketenangan yang palsu; becek dan menjijikkan. Hari itu ia sadar bahwa ia butuh landasan yang kuat untuk 'melesat' dan entah pada bumi yang mana akan ia temui pijakan itu nanti…

Hari itu Lee jujur sejujur-jujurnya kepada diri sendiri. Bahwa ia…

Memang…

Butuh…

-

r u a n g .
-
(l.u.11.27 pm)


Selasa, 05 April 2011

Tentang N(irf)us

Ia selalu memanjat ke atas genteng itu. Setiap pagi, setiap malam, setiap Nirfus mulai menari di hatinya. Lalu berjingkat-jingkat ia dengan segelas kopi panas dan beberapa batang rokok, meraba lumut-lumut yang licin, mencari pilar kesembilan dari timur, dan duduk.

Dari atas sana, ia tahu persis apa yang akan ia lakukan. Menyumbat telinga serapat mungkin dengan headset, memantik api, dan mereguk kopi sesekali hingga habis sama sekali. Begitulah selalu yang terjadi hingga pagi, hingga bulan memudar, dan mentari kembali terbit di ufuk timur…

Ada yang begitu meresahkan jiwanya kala itu; batas yang tak pernah jelas yang gagal menerjemahkan diri… Ketika segalanya begitu absurd, ia sendiri bahkan tak tahu kapan dan dimana 'skenario' itu dimulai. Tapi perubahan berlangsung nyata. Terjadi begitu saja. Mengupas semua bungkus yang ada. Mengoyak habis segala keyakinan. Menyakitkan…

---

Nirfus tak tahu bahwa dirinya pernah sangat dicintai. Bahwa ia senantiasa mengingat setiap detail  suara dan sorot mata yang membiaskan kehidupan. Bahwa ia selalu menyimpan rapi di kepala, kenangan tentang puzzle hitam-jingga, kaus kaki lumba-lumba, bulan dan bintang yang menyala biru di kamarnya, juga sprei SpongeBob yang selalu tampak (seperti sedang) mengejek…

Nirfus tak tahu bahwa dirinya pernah begitu dicintai. Bahwa ia senantiasa terpana pada ramping jemari yang lincah menari di senar-senar gitarnya. Bahwa ia tak pernah absen sekali pun menyimpan bungkus-bungkus rokok yang dibuang percuma. Bahwa hanya ia, satu-satunya orang yang tertawa mendengar Nirfus takut serangga…

--

Ia ingat betul ketika untuk pertama kalinya Nirfus tampil di depan kelas, memainkan Now and Forever Richard Marx dengan sangat baik dan seisi kelas pun terdiam. Juga pada kali yang lain ketika Nirfus memerankan lakon-lakonnya dengan penuh seluruh. Dan pada kali-kali yang lainnya lagi dikala ia dan Nirfus kerap berada di atas pentas yang sama. Ah, betapa kini ia sadari bahwa ia mencintai kelembutan dan keindahan yang berpagut di dalam jiwa lelaki itu, tak lebih…

Ia paham betul siapa yang selalu ia tunggu pagi itu. Langkah-langkah pelan yang selalu terlambat mengetuk pintu. Muncul di depan kelas menenteng satu-satunya buku dengan kaus lusuh dan mata memerah. Pria yang selalu membuatnya tak mampu memulai hari dengan mudah…

Ia tahu betul pinggang siapa yang ingin ia peluk di jalan sesingkat itu. Saat dingin begitu menusuk dan polisi tidur membuatnya terantuk-antuk. “Siap meloncaaaaaaattt…” Nirfus memberi aba-aba. Tapi urung, tak pernah ia lakukan…

-

Ia. Sesungguhnya ia tak tahu apa-apa tentang pancaroba, tentang hujan dan api, tentang berisik di kontemplasi, tentang transendensi yang mengotakkan kandang-kandang besi, tentang topeng yang teryakini, tentang inversi dan jarak yang membentang luas di antara "Dunia Sophie" dan "Filosofi Kopi", tentang tontonan kecil tanpa karcis  dan… tentang garisan yang memaksa semua itu terjadi. Tapi langit di Selat Sunda masih berbintang seperti biasa, dan lilin ulang tahun yang pernah kau bawa pada suatu pagi, telah menjawab doanya sendiri…

-

“… rekahnya tak pernah merah, hanya kerikil dalam terompah …”

(l.u.8.27 am)


Senin, 04 April 2011

Escapisc1um.

(1)

Di laut dalam tak bertepi, air berpulang dan kembali
Membasuh dirinya yang luka, mengubur daur lama
Membuang s’gala kotoran sisa-sisa perjalanan…

(2)

Di dalam laut yang sunyi, ikan-ikan mengunci diri
Dari udara yang bising, ladang-ladang yang kering
Dari pasar yang ramai dan perang yang runcing…

(3)

Dalam semesta kecil itu, mereka asyik bermimpi
Tentang tempat-tempat indah, kehidupan yang ramah
Dunia tak berbentuk dan akhir yang bahagia…

(Reff)

Oh mereka yang murah hati jangan mengasihani diri
Rumahmu lautan kasih, sungai kebajikan, telaga kebijaksanaan…
Oh mereka yang memberi berhenti meragukan diri
Mimpi adalah kekuatan, lecutan luar biasa, pintu kemana saja…

(4)

Dan tiada yang tahu, di dasar lautan itu
Dari waktu ke waktu ikan(-ikan) merenangi kebimbangan…
Satu kaki melangkah ke depan yang lain tertinggal
Separuh timur telah terbit yang barat tenggelam…

(5)

Dan tiada yang tahu, di dasar lautan itu
Dari waktu ke waktu ikan(-ikan) mengarungi pertentangan…
Separuh hitam di atas putih kebenaran kelabu
Perahu ke hilir angin ke hulu tak jua bertemu…

(6)

Oh tiada yang tahu, di dasar lautan itu
Dari waktu ke waktu ikan(-ikan) merasakan segala sesuatu…
Sibuk menggali ke dalam jiwa, membawa beban seluruh dunia
Menyerap segala emosi rintihan isi hati…

--

"… I know how you feel, I just don't care … "

-

(l.u.7.07 am)