Minggu, 03 April 2011

Bejana Kesunyian (repost, 06\10)

Ada yang berubah dari diri saya beberapa bulan terakhir ini. Seperti riuh badai yang berangsur reda dan berakhir pada satu rintik, di sanalah kesepian saya bermula. Saya tak seceria dulu. Kuning tak lagi beralamat baik. Kini ia tak menghangatkan siapapun, tak juga dirinya sendiri.

Saya menjadi tak banyak bicara, bahkan susah menulis. Saya cenderung malas bertemu orang lain dan kerapkali merasa terganggu dengan adanya dering telepon. Ada apa dengan diri saya? Saya tak tahu. Rasanya seperti mendapati versi saya yang lain, yang lebih introvert dan pesimis. Di satu sisi saya terlihat sangat tenang, tetapi juga sangat rapuh. Entahlah, saya merasa ada banyak hal yang salah dengan diri saya. Saya kehilangan kepercayaan diri.

Tentu saja ini tak sehat. Rasa malas melihat mentari di pagi hari sama anehnya dengan keinginan memakai helm setiap kali berbicara dengan orang lain. Rasanya tak ada yang lebih saya inginkan selain berkubang dengan kesepian saya sendiri, membenamkan wajah di dalam gua yang jauh tanpa seorang pun menyadari.

Perasaan-perasaan karib ini bernama sepi. Sepi, karena keramaian hanya tumpah di kepala. Tak ada riak di dunia nyata yang membuat saya kini bahkan tak tahu, saya hidup untuk siapa…

---

Tapi kita hidup untuk Tuhan, toh? Semua tahu itu. Semua yang beriman maksud saya. Dan saya (mengaku) beriman dan (sesungguhnya) saya malu dengan kalimat-kalimat di atas.

Yang beriman semestinya tak pernah merasa sepi sebab ia tahu bahwa Tuhan selalu bersamanya. Yang beriman semestinya tak pernah merasa sendiri hanya karena tak ada makhluk di sampingnya. Oh, lihatlah betapa kalimat saya telah berironi terhadap diri saya sendiri.

Maka kembalilah. Kembalilah pada Tuhanmu karena kesepian melupakan keberadaan. Karena kesepian tak lebih dari ketersesatan dalam rimba diri sendiri. Tak ada alasan untuk merasa sepi jika kau beriman. Maka benar, bersalahlah saya…

--

Memang tak mudah untuk berbahagia di setiap waktu. Karena hidup selalu mengemas dirinya sedemikian rupa dengan serangkaian ujian, sandungan kerikil, dan gulungan benang kusut. Tapi bukankah Tuhan selalu menawarkan dua peleraian yang sama bagusnya, yakni ‘sabar’ untuk mereka yang ditimpa kesulitan dan ‘syukur’ bagi yang diberikan kemudahan. Maka tidakkah kedua hal tersebut sama-sama baik bagi segala urusan orang beriman?

-

Saya mengenal dengan baik ujian saya, sejak dulu pun demikian. Tak mudah menjadi saya dan tentulah juga tak mudah menjadi orang lain. Di muka bumi ini manusia entitas untuk mengemban porsinya masing-masing dan akan selalu berhadapan dengan dirinya sendiri. Maka penting bagi kita untuk selalu 'berbahagia' dalam perjalanan yang paling panjang dan paling melelahkan ini: yakni perjalanan masuk ke dalam diri sendiri (Dag Hammersjold).

Maaf, menceracau.
-

" yang sering kesepian, kenapa? kembalilah "  (Longing for the Unknown - Karunesh)