Ia selalu memanjat ke atas genteng itu. Setiap pagi, setiap malam, setiap Nirfus mulai menari di hatinya. Lalu berjingkat-jingkat ia dengan segelas kopi panas dan beberapa batang rokok, meraba lumut-lumut yang licin, mencari pilar kesembilan dari timur, dan duduk.
Dari atas sana, ia tahu persis apa yang akan ia lakukan. Menyumbat telinga serapat mungkin dengan headset, memantik api, dan mereguk kopi sesekali hingga habis sama sekali. Begitulah selalu yang terjadi hingga pagi, hingga bulan memudar, dan mentari kembali terbit di ufuk timur…
Ada yang begitu meresahkan jiwanya kala itu; batas yang tak pernah jelas yang gagal menerjemahkan diri… Ketika segalanya begitu absurd, ia sendiri bahkan tak tahu kapan dan dimana 'skenario' itu dimulai. Tapi perubahan berlangsung nyata. Terjadi begitu saja. Mengupas semua bungkus yang ada. Mengoyak habis segala keyakinan. Menyakitkan…
---
Nirfus tak tahu bahwa dirinya pernah sangat dicintai. Bahwa ia senantiasa mengingat setiap detail suara dan sorot mata yang membiaskan kehidupan. Bahwa ia selalu menyimpan rapi di kepala, kenangan tentang puzzle hitam-jingga, kaus kaki lumba-lumba, bulan dan bintang yang menyala biru di kamarnya, juga sprei SpongeBob yang selalu tampak (seperti sedang) mengejek…
Nirfus tak tahu bahwa dirinya pernah begitu dicintai. Bahwa ia senantiasa terpana pada ramping jemari yang lincah menari di senar-senar gitarnya. Bahwa ia tak pernah absen sekali pun menyimpan bungkus-bungkus rokok yang dibuang percuma. Bahwa hanya ia, satu-satunya orang yang tertawa mendengar Nirfus takut serangga…
--
Ia ingat betul ketika untuk pertama kalinya Nirfus tampil di depan kelas, memainkan Now and Forever Richard Marx dengan sangat baik dan seisi kelas pun terdiam. Juga pada kali yang lain ketika Nirfus memerankan lakon-lakonnya dengan penuh seluruh. Dan pada kali-kali yang lainnya lagi dikala ia dan Nirfus kerap berada di atas pentas yang sama. Ah, betapa kini ia sadari bahwa ia mencintai kelembutan dan keindahan yang berpagut di dalam jiwa lelaki itu, tak lebih…
Ia paham betul siapa yang selalu ia tunggu pagi itu. Langkah-langkah pelan yang selalu terlambat mengetuk pintu. Muncul di depan kelas menenteng satu-satunya buku dengan kaus lusuh dan mata memerah. Pria yang selalu membuatnya tak mampu memulai hari dengan mudah…
Ia tahu betul pinggang siapa yang ingin ia peluk di jalan sesingkat itu. Saat dingin begitu menusuk dan polisi tidur membuatnya terantuk-antuk. “Siap meloncaaaaaaattt…” Nirfus memberi aba-aba. Tapi urung, tak pernah ia lakukan…
-
Ia. Sesungguhnya ia tak tahu apa-apa tentang pancaroba, tentang hujan dan api, tentang berisik di kontemplasi, tentang transendensi yang mengotakkan kandang-kandang besi, tentang topeng yang teryakini, tentang inversi dan jarak yang membentang luas di antara "Dunia Sophie" dan "Filosofi Kopi", tentang tontonan kecil tanpa karcis dan… tentang garisan yang memaksa semua itu terjadi. Tapi langit di Selat Sunda masih berbintang seperti biasa, dan lilin ulang tahun yang pernah kau bawa pada suatu pagi, telah menjawab doanya sendiri…
-
“… rekahnya tak pernah merah, hanya kerikil dalam terompah …”
(l.u.8.27 am)