Seperti orang Banjar pada umumnya, sebagian besar keluarga gw di sini juga berprofesi sebagai pedagang. Mereka adalah orang-orang yang (semestinya) bertanggungjawab terhadap slogan “Banjarmasin kota seribu sungai” yang diplesetkan menjadi “seribu ruko dan puluhan ribu sepeda motor”. Masyarakat Banjar sendiri mengenal ruko sebagai singkatan dari ‘rumah’ dan ‘toko’, yakni tempat bagi mereka, para pedagang yang menyatukan tempat tinggalnya dengan tempat berjualan (biasanya terdiri dari dua lantai, lantai atas berfungsi sebagai rumah dan lantai bawah sebagai toko).
Kembali pada keluarga besar gw yang “pedagang”, macam-macam pula bisnis keluarga ini. Ada yang buka hotel, toko sepeda, toko handphone, toko baju, toko besi, bengkel motor, toko kelontong dan barang-barang pecah-belah, hingga warnet tempat gw pernah bekerja.
Nah, berbeda dengan warnet-warnet di Pulau Jawa yang konon berangsur sepi, warnet di sini justru tengah memulai geliatnya dalam beberapa tahun terakhir. Booming warnet (termasuk wargames) di sini dimulai ketika para investor latah berlomba-lomba mengisi pojok-pojok lahan kosong dengan bilik-bilik warnet yang ramai pengunjung. Fasilitas yang disediakan pun tergolong lengkap; koneksi internet berkecepatan tinggi, monitor LCD 19-inch yang menggantikan monitor tabung, ruangan ber-AC, hingga café. Alhasil, tengoklah kini jalan-jalan di Banjarbaru, Banjarmasin, dan Martapura, tentulah tak susah mencari warnet (yang semoga saja belum penuh).
Sebenarnya gw sendiri heran, mengapa para investor itu seakan berlomba membuka warnet? Padahal mereka tentunya mafhum bahwa bisnis warnet bukanlah bisnis jangka panjang seperti halnya bisnis wartel yang dulu booming dan berangsur-angsur decline seiring banyaknya orang yang mulai menggunakan telepon genggam. Begitu pun kini yang terjadi pada warnet ketika internet cepat dan murah semakin mudah saja diakses oleh banyak orang di laptop masing-masing.
Tapi ah, ya ya ya… Sebenarnya dalam tulisan ini gw nggak bermaksud melakukan analisis apapun tentang bisnis, secara gw gak ngerti apa-apa tentang itu. Sebenarnya gw cuman pengen curhat, curhat tentang warnet, tentang keseharian warnet, tentang apa aja yang pernah gw temuin di warnet, yaaaaaaa… tentang segala rutinitaslah yang pernah gw jalanin dulu…
---
Well, warnet tempat gw pernah bekerja berlokasi di sekitar lingkungan pasar. Satu kompleks dengan toko-toko keluarga gw yang lain. Setiap hari gw berkewajiban membuka toko jika kebagian shift pagi dan tutup toko jika shift malam. Karena lokasinya yang berada di dalam pasar, maka para pelanggan kami pun tak jauh-jauh dari masyarakat pasar, mulai dari balita (ini serius), anak-anak sekolah, remaja, hingga oom-oom dan kakek-kakek (entah mengapa ibu-ibu jarang sekali). Dengan lokasi seperti itu, secara otomatis gw juga terbiasa berinteraksi dengan para pedagang sayur, tukang parkir, satpam hotel, tukang jahit, hingga petugas pegadaian.
Setiap harinya gw selalu berangkat dengan setelan yang pasti; celana jeans berumbai-rumbai yang digunting selutut, kaos, jaket, masker, helm, sandal jepit, tas selempang, dan kantong kresek yang isinya kotak makan lengkap dengan termos minumnya. Ber-beat merah bersama si Mingke menempuh perjalanan 10 km dengan terkantuk-kantuk oleh karena jalanan di sini yang hampir selalu lurus.
Sesampainya di warnet, pasar tumpah ruah. Beberapa pelanggan ada yang sudah duduk-duduk di depan ruko menunggu kami buka. Mereka adalah anak-anak yang keranjingan games dan akan mempertaruhkan jiwa-raganya demi menduduki box-box favorit begitu papan closed berganti menjadi papan open seakan-akan itu memang sebuah award. Diantaranya ada yang bahkan rela adu jotos segala. Yang kalah, seperti biasa, akan pulang ke rumah sambil menangis.
Setelah membuka toko dari pintu belakang, biasanya gw hanya punya waktu sekitar 15 menit untuk bersih-bersih sebelum anak-anak itu mulai merangsek masuk dengan tak sabar. Dan dalam waktu 15 menit itu, gw berkesempatan menemukan baaaaaaanyak… sekali jenis sampah tak wajar yang sengaja atau tak sengaja ditinggalkan para pelanggan dalam sehari/semalam sebelumnya. Sebut saja plastik berisi jus alpukat yang sudah basi, batu-batu kerikil yang dipungut dari jalanan, karet penghapus yang digunting-gunting dengan isengnya, bekas permen karet yang ditempelkan ke LCD, bungkus sisa mie kering yang biasa dimakan sebagai cemilan sambil main games, duit-duit receh, memory card, KTP, flash disk, hingga HP. Belum lagi pelanggan yang ngumpet-ngumpet ngerokok dan membuang begitu saja abunya ke dalam CPU atau menebarkannya di atas keyboard. Oemjiy…
Selesai berbenah, anak-anak pun masuk. Mereka mulai ribut satu sama lain tentang games yang akan dimainkan sementara gw mulai menyibukkan diri dengan akuntansi tanggal kemarin. Setelah semuanya balance, gw akan pergi ke belakang untuk mencuci tangan dan memesan segelas teh panas. Ketika gw mulai sibuk membuka Email, Facebook, Twitter, dan beragam akun lain sambil menyusun playlist di Winamp dan mendownload ini-itu, di luar sana Satpol PP juga tengah sibuk meneriaki para pedagang sayur. Suara mikrofon mereka beradu kencang dengan suara pengamen pasar yang tengah menyanyikan hits-hits dangdut terbaru, dan tentu saja dengan suara Point Blank yang berasal dari PC “para pelanggan”. Sesekali ritual itu memperoleh intermeso dari orang-orang yang berkebutuhan dengan faximile. Dari sanalah ritual warnet yang sesungguhnya dimulai, sampai tiba waktu kami menutup toko.
--
Jadi, apa yang sebenarnya gw peroleh selama 7 bulan menyelami rutinitas itu? Realita, ya realita! Perangai masyarakat dalam wujud yang sebenar-benarnya! Mengelola warnet di lingkungan pasar ternyata bukan hanya soal mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, tetapi juga menghadapi aneka realita dalam satu waktu. Kalaulah terdapat gradasi warna dalam rentang 1 s.d.10, maka kita akan melihat seluruh komponennya. Melihat hierarki dan kesenjangan yang membentang di dalamnya. Melihat mereka yang terseret-seret dalam transisi budaya, dalam kondisi setengah tertidur dan terjaga…
Miris rasanya, setiap hari mendengar teriakan dan sumpah-serapah anak-anak itu yang tak henti-hentinya main games sambil ngemil mie kering disaat mereka seharusnya sekolah dan mengaji. Miris, mendapati balita yang terang-terangan minta dibukakan “Kiki Fatmala”. Miris, melihat anak tunawicara yang datang ke warnet untuk pertama kalinya, membawa alat pancing dan seember ikan tanpa tahu harus berbuat apa. Miris, menghadapi kenakalan-kenakalan remaja yang seringkali iseng mengakali billing, lalu ngutang dan nggak bayar tapi besoknya berani datang lagi (atau hanya sejenis kenakalan-kenakalan kecil seperti menaruh kaus kaki di atas AC). Miris, dengan benih-benih manusia yang "menghibur diri sendiri" ketika shift malam tiba. Miris terhadap para ABG yang pengen gaul tapi nggak tahu bahwa untuk membuat sebuah akun Facebook diperlukan Email dan kemudian bertanya, “Email itu apa?”. Miris terhadap calon pejabat daerah yang mengkampanyekan dirinya sampai ke sana lalu membagi-bagikan kartu namanya kepada seluruh pelanggan. Miris terhadap anak-anak sekolah yang berkedok minta dibukain Google padahal minta dikerjain PR. Miris terhadap alay-alay pasar yang minta didownload-in puluhan lagu seenaknya sambil tak habis pikir, mengapa mereka tidak pernah mencoba melakukannya sendiri padahal udah gw ajarin berulang kali?. Ah, miris dengan semuanyaaaaaaa…
Walaupun memang banyak juga hal manis di balik semua itu. Seperti pedagang buah baik hati yang suka membagi-bagikan jambu biji. Orang gila di pasar yang jago ngomong English. Segelas teh manis panas dan hujan di balik jendela. Seluruh pelanggan yang kerap bernyanyi bersama sambil menunggu hujan reda. Hiruk-pikuk pasar jam 3 subuh jika kebetulan gw tengah bermalam di sana. Sate rasa karamel. Ritual repotnya mati lampu lalu kabur ke KFC dan aktivitas sulap-sulapan bareng si Mingke seperti foto di bawah ini… :D
-
(l.u.12.37 am)
![]() |
*oops, yang ini jeans-nya pengecualian :p |