Sabtu, 09 April 2011

Yang Hampir Pamungkas

Mama bilang proses kelahiranmu paling rumit di antara kami bertiga. Kamu lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Kalimantan pada suatu tengah malam buta dengan hanya dibantu oleh seorang bidan kampung biasa. Mama juga bilang bahwa konon ketika kamu lahir itu, di halaman rumah telah berjaga sejenis kuyang (hantu kepala) yang turut menanti kelahiranmu. Beruntung sang bidan sigap mengambil parang, menuliskan beberapa rajah dengan kapur basah di atasnya, lalu menyimpannya di bawah ranjang. Dan entah bagaimana pada akhirnya kuyang  itu pun “pulang”.

Aku belum genap berumur dua tahun ketika kamu lahir. Karena itulah, jarak kelahiran yang terpaut tak terlampau jauh membuat kita tumbuh bersama. Akan tetapi, dalam perkembangannya justru sangat sulit bagi kita untuk “berkakak” dan “beradik”. Dan karena itu pula, interaksi di antara kita selalu marak dengan rebutan mainan hingga perkelahian ini-itu.

Tak banyak yang bisa kuingat tentang kamu dari masa kecil kita dulu. Mama bilang, aku juga pernah hampir membunuhmu dengan membelesakkan selembar kantong plastik kecil ke dalam mulutmu saat kamu baru saja lahir. Selain itu tak banyak, tak banyak yang bisa kuingat sejak kamu mulai bisa mengumpat bantat tantut bunyuy  lalu lari terbirit-birit…

Tapi aku masih ingat ketika pada suatu hari papa mengajakmu pergi ke kebun binatang. Perasaan mama di rumah sangat cemas ketika lewat tengah hari kalian belum juga pulang. Dan benar saja, kamu pulang dengan darah membanjir di sekitar tangan. “Digigit monyet”, kata papa dengan entengnya. “Iseng sih pake ngasih-ngasih kacang segala”. Aku ingat saat itu mama marah besar karena menganggap papa tidak mampu menjagamu dengan baik. Tapi luka itu memang serius. Kamu terkena rabies yang membawamu berobat sampai ke luar Kalimantan. Bahkan hingga saat ini ibu jari yang luka itu tetap saja kaku dan tak bisa digerakkan lagi. Dokter bilang sendi kamu rusak, lukanya pun sangat membekas hingga aku selalu sibuk menyiapkan jawaban kala teman-temanmu bertanya tentang itu.

Pernah juga pada suatu hari kamu iseng menggendongku. Waktu itu kamu masih TK, perawakanmu kurus dan kecil, tapi entah bagaimana aku mau saja kamu gendong. Hingga akhirnya kamu terjatuh dan meringis kesakitan sambil berkata bahwa tanganmu tak dapat digerakkan lagi. Saat kutengok, tangan itu sudah bengkok. Beberapa menit kemudian papa pun melarikanmu ke rumah sakit. Lenganmu patah dan aku dimarahi habis-habisan. Begitulah, kamu kecil begitu ringkih hingga rawan kecelakaan…

Tapi kamu anak yang keras. Jika berkelahi dengan teman-temanmu kamu selalu bertindak nekat. Sering kulihat kamu pulang ke rumah dengan terburu-buru sambil bercucuran air mata, berlari menuju dapur, dan mengambil apapun benda tajam yang bisa kamu temukan di sana. Jika itu terjadi, mama akan sangat sibuk meleraimu, mencoba meredakan emosimu dengan berbagai macam cara.

Pernah sekali waktu kamu berhasil membawa ke luar sebuah parang tanpa sepengetahuan mama. Temanmu yang ketakutan itu lalu lari terbirit-birit dan mengadukanmu pada ayahnya. Ayahnya yang marah lantas pergi memburumu. Kamu menghilang. Sampai sore tidak juga ditemukan. Bersyukur pada akhirnya seorang tetangga mendapatimu tengah tertidur di kolong rumah orang lain. Ahahahaha…

Dan entah mengapa kita selalu saja menangis saat disuruh mama tidur siang. Mungkin kita kesal karena tidak diperbolehkan bermain seharian seperti anak-anak desa yang lain. Jika membantah, mama akan segera mengancam kita dengan sepotong cabe merah besar dan juga balsem. Lalu kamu pun tertidur. Tapi tahukah kamu, saat kamu tertidur itu, mama selalu mengijinkan aku untuk kembali bermain bersama yang lain? (:p)

---

Hingga akhirnya papa memboyong kita berdua pindah ke Pulau Jawa. Alih-alih disekolahkan bersama, papa malah membawamu ke Garut sementara aku bersekolah di Bandung. Kamu tentu tak tahu, bahwa sejak itu aku kerapkali merindukanmu hingga sering menangis di balik sofa atau di bawah bed cover. Dan jika sore tiba, aku akan naik ke atas loteng lalu membayangkan kamu dan mama berada dekaaaaaaat… sekali di balik gunung itu, atau menggambar apapun sesukaku tentang kalian, termasuk lukisan obat merah di dinding-dinding rumah yang membuat nenek sangat marah. Seringkali untuk mengusir kesepianku, aku juga menciptakan beberapa lagu untuk kalian lalu berkhayal tentang jari-jemari kita yang memiliki dunianya sendiri…

Aku juga ingat ketika pada suatu hari papa menjadi sangat marah kepadamu saat kamu menolak mandi tanpa air panas. Udara pagi Garut yang kelewat dingin memang membuat gila siapapun. Papa yang marah lalu merendammu di kolam ikan. Tak ketinggalan, sepeda bututmu turut diceburkan papa ke sana. Kamu menggigil kedinginan dalam seragam merah-putih itu lalu kabur dari rumah selama tiga hari tiga malam. Papa yang frustasi karena tak berhasil mencarimu lantas melampiaskan kemarahannya dengan memecahkan kaca jendela. Sejak itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak di malam hari karena selalu diserang banyak nyamuk.

--

Beranjak dewasa setelah “kepergian” papa, kamu memilih urung kuliah dan memutuskan bekerja di Jakarta demi menopang perekonomian kita. Sejak saat itu, kamulah tulang punggung merangkap kepala keluarga. Beberapa orang tercengang mendapatimu telah tumbuh menjadi pria yang sangat dewasa di usia yang sangat muda. Begitulah, kehidupan yang “keras” acapkali menempa dan mengasah mental kita…

Sampai pada suatu hari kamu mengajakku makan malam dan memperkenalkan seseorang. Dengan malu-malu meminta restuku untuk sebuah lingkaran baru. Aku terhenyak, tak menyangka begitu cepat. Di usia semuda itu kamu berani mengambil keputusan-keputusan besar. Tapi hidup Tuhan yang tahu dan aku hanya bisa tertegun mendapati undangan manis berpita coklat hadir di beranda rumah kita pagi itu. Dan sore ini, kamu kembali membawa tunas kebahagiaan baru bagi keluarga kecil kita…

-

“Selamat datang di dunia, my niece Mesha…”

-

Jakarta, 05 April 2011

(5.37 pm)