Sabtu, 02 April 2011

De17sem2009ber.

Hai,

Hari ini 15 Maret 2011. Satu-tahun-delapan-puluh-enam hari sejak itu, dan aku…
(tidak, baik, tidak, baik, tidak, baik, …)


tidak, tidak, aku TIDAK baik-baik saja.

Betapa waktu sangat cepat berlalu bukan? Sejak aku selalu memilih kursi di samping jendela hanya untuk sekedar melihatmu berjalan ke kamar kecil, sejak aku selalu memperkirakan kapan tepatnya kamu akan selesai dan mulai menggegasi anak tangga itu lagi, sejak  pada suatu sore yang basah kamu iseng menyapa ideolekku, berdiri di bawah satu payung bersamaku kemudian berkata, “Kacamatamu bagus sekali…” (sayang, entah mengapa di depanmu lidahku selalu saja kaku untuk mengucap terimakasih).

Ironis. Kamu yang bahkan tak percaya pada - cinta pandangan pertama - entah mengapa harus aku yang mengalaminya. Memang terlalu berlebihan jika kusebut demikian karena kita pernah bertemu, setidaknya sekali, dua kali, tiga kali, entahlah aku tak ingat… tak juga peduli… tapi chemistry yang tercipta sesudahnya benar-benar terjadi dalam hitungan hari…

Sore itu aku tak pula mengerti, mengapa tiba-tiba saja aku terduduk dan terdiam memandangi punggungmu di kejauhan. Punggung yang selalu tampak sesak dan kokoh seolah tulang-belulang di dalamnya memang tercipta untuk menopang seluruh beban di dunia. Punggung yang selalu saja membuatku bahagia dan bersedih karenanya saat ia mulai menghilang di persimpangan jalan…

Sejak itu, …tak ada lagi yang lebih badai dari rindu… Selalu ada kupu-kupu yang menggetar lamat di dalam jiwaku yang meronta kehadiranmu. Selalu ada kerucut yang mengubah dunia menjadi begitu sempit. Selalu saja ada yang membuatku kehilangan diri… kamu.

Mengapa kamu? Mengapa harus kamu, seseorang terlarang yang bahkan tak boleh kusebut namanya. Mengapa harus padamu, lelaki yang jiwanya, kabarnya, dan segala sesuatu tentang dirinya sudah sering kudengar bertahun yang lalu dari seorang perempuan yang begitu menginginkanmu; sahabatku sendiri. Tak bisakah chemistry itu datang dari seorang yang bukan kamu hingga aku bisa bersederhana dengan semua ini tanpa harus peduli. Ah Tuhan, aku bahkan tak setetes air…

DI RESTORAN

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput -
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras -

kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.

(hujan bulan juni, 1989)

Jangan lagi berjudi denganku tentang sesuatu yang kau sebut ketulusan, kesetiaan. Kau tahu, aku telah membayar di muka semua itu. Jika ini begitu membebanimu, pulanglah. Barangkali aku hanya perlu menunggu orang baru untuk berhenti. Dan jika ia tak pula tiba, aku siap menggenangi luka-luka ini lebih lama lagi

Kamu orang baik. Selalu kukecup jiwamu selagi mampu. Selalu kugiring namamu dalam doa. Meski aku tak pernah tahu, kalimat seperti apa yang harus kurumuskan di hadapan-Nya. Tapi cukup, cukup. Aku terlalu banyak bicara


“… sudah ada ikan, di akuariummu …”

(l.u.8.27 am)